Rabu, 18 April 2012

Bahaya Ghibah

Oleh: Abu Abdillah Al-Atsari

Jika kita cermati lisan-lisan manusia dewasa ini sungguh sangat memprihatinkan dan menyedihkan sekali, bagaimana tidak? kebanyakan orang tidak lagi memperhatikan dan menjaga lisannya, ucapan yang terlontar dari mulutnya tidak di pikirkan kembali baik dan buruknya, ia keluar bagaikan kilat, cepat menyambar mengenai sasaran. Diantara fenomena penyakit lisan yang sering kita jumpai adalah ghibah. Ghibah termasuk perkara yang sudah jelas keharamannya, lebih jelas daripada matahari di siang bolong. Namun alangkah sedikitnya orang yang mau memperhatikan dan mengilmui larangan ini. Semoga ulasan berikut dapat mengingatkan orang-orang yang lalai menjaga lisannya, dan nasehat bagi kaum muslimin dimanapun berada. Allohu Muwaffiq.
Definisi Ghibah
Ghibah sebagaimana diinformasikan oleh Nabi adalah:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu? para sahabat menjawab, “Alloh dan rasulNya yang lebih tahu”. Maka Rasulullah bersabda, “Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang ia benci”, kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan memang ada padanya? Rasulullah menegaskan, “Jika yang engkau katakan memang ada pada dirinya, maka itulah ghibah. Jika tidak, maka engkau telah berbuat dusta padanya”. (HR.Muslim 2589, Tirmidzi 1934, Abu dawud 4874, Darimi 2717, Ahmad 2/230).
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Telah terjadi silang pendapat dikalangan ulama tentang definisi ghibah dan hukumnya. Adapun mengenai definisi ghibah, Raghib Al-Asfahani pernah mengatakan, “Ghibah adalah seseorang menyebutkan aib orang lain tanpa ada hajat untuk menyebutkannya”. Lain halnya dengan Imam Ghozali dia pernah mengatakan, “Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang ia benci jika hal itu sampai padanya”. (Fathul Bari 10/576).
Berkata Imam Ibnul Atsir, “Ghibah adalah menyebutkan aib yang ada pada diri seseorang yang tidak ada dihadapannya. Apabila menyebutkan aib yang tidak ada pada dirinya maka itu adalah kedustaan”. (An-Nihayah 3/399).
Imam Nawawi mengatakan, “Ghibah adalah engkau menyebutkan orang lain dengan sesuatu yang ia benci, baik dalam hal badan, agama, dunia, rupa, akhlak, harta, anak-anaknya dan lain-lain yang berhubungan dengan dirinya. Sama saja engkau menyebutkannya dengan ucapan, tulisan, isyarat mata dan kepala dan lain sebagainya”. (Al-Adzkar hal.288).
Hukum Ghibah
Tidak diragukan lagi ghibah hukumnya adalah haram, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Firman Alloh:
وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ
Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha penerima taubat lagi Maha penyayang. (Al-Hujuraat: 12).
Berkata Imam Ibnu Katsir, “Sungguh telah datang peringatan yang sangat keras tentang ghibah. Oleh karena itu Alloh menyerupakannya dengan memakan daging manusia yang sudah menjadi bangkai. Sebagaimana kalian membencinya memakan daging yang sudah mati maka bencilah ghibah karena agama. Sesungguhnya balasan ghibah lebih keras dari sekedar yang demikian”. (Tafsir Al-Qur’an Azhim 4/192).
Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu? para sahabat menjawab, “Alloh dan rasulNya yang lebih tahu”. Maka Rasulullah bersabda, “Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu yang ia benci”, kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana jika yang aku katakan memang ada padanya? Rasulullah menegaskan, “Jika yang engkau katakan memang ada pada dirinya, maka itulah ghibah. Jika tidak, maka engkau telah berbuat dusta padanya”. (HR.Muslim 2589, Tirmidzi 1934, Abu dawud 4874, Darimi 2717, Ahmad 2/230).
Dua dalil diatas kiranya cukup sebagai isyarat akan keharaman perkara ghibah. Ditambah lagi telah terjadi kesepakatan ulama tentang haramnya ghibah. Berikut penulis nukilkan sebagian perkataan mereka.
Imam Ibnu Katsir mengatakan, “Ghibah diharamkan menurut kesepakatan ulama, tidak ada pengecualian, kecuali apabila memang mengandung mashlahat yang besar seperti jarah wa ta’dil dan memberi nasehat”. (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim 4/192).
Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Tidak ada perselisihan bahwa ghibah termasuk dosa besar. Barangsiapa yang menghibah orang lain, wajib baginya untuk bertaubat kepada Alloh”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 16/220).
Imam Nawawi berkata, “Ghibah dan namimah diharamkan menurut kesepakatan kaum muslimin. Dalil-dalil keharaman keduanya sangat tegas dan jelas berdasarkan al-Qur’an, as-sunnah dan kesepakatan umat”. (Al-Adzkar hal.288).
Bahaya Ghibah
1. Merusak kehormatan seorang muslim
Ketahuilah wahai saudaraku, kehormatan seorang muslim dalam din ini sangat terjaga. Tidak dibenarkan bagi siapa pun untuk merusak dan menggangu kehormatannya tanpa alasan yang syar’i. Orang yang menggunjing saudaranya berarti dia telah membicarakan dan menggangu kehormatan seorang muslim, dan hal itu terlarang dengan tegas, Rasulullah bersabda:
إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ , وَ أَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا
Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram (terjaga), sebagaimana kehormatan pada hari ini, pada bulan ini dan di negeri ini. (HR.Bukhari 67, Muslim 1679).
Bahkan orang yang merusak kehormatan kaum muslimin ancamannya sangat keras, bagaikan orang yang berbuat riba paling besar, sebagaimana dalam sebuah hadits:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ اْلنَّبِيِّ قَالَ: إِنَّ مِنْ أَرْبَى اْلرِّبَا اْلاِسْتِطَالَةَ اْلمَرْءِ فِيْ عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
Dari Sa’id bin Zaid bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesunguhnya riba yang paling besar adalah membicarakan kehormatan seorang muslim tanpa hak”. (HR. Abu Dawud 4876, Ahmad 1/190, Thabrani 357, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Targhib 3/77).
2. Dosa yang tidak ringan
Sering kita jumpai seseorang mengucapkan kalimat yang menurutnya sepele, padahal pada hakekatnya dia telah terjatuh dalam ghibah tanpa sadar. Perhatikanlah hadits berikut sebagai pelajaran bahwa ucapan yang ringan bisa mendatangkan dosa yang besar.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ لِلنَّبِيِّ: حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَ كَذَا – قَالٍَ: تَعْنِيْ قَصِيْرَةً فَقَالَ: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَ بِهَا اْلبَحْرُ لَمَزَجَتْهُ
Dari Aisyah bahwasanya dia berkata kepada Nabi, “Cukuplah engkau menyebutkan Shofiyyah, dia itu begini dan begitu (berkata sebagian rowi, maksudnya Shofiyyah adalah wanita yang pendek)! Rasulullah akhirnya menegur Aisyah dengan mengatakan, “Sungguh engkau telah mengucapkan sebuah kalimat apabila dicampur dengan air laut niscaya air laut tersebut akan tercemar”. (HR.Abu Dawud 4875, Tirmidzi 2502, Ahmad 6/128, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 4853).
Berkata Imam Nawawi, “Hadits ini termasuk yang paling keras dalam menerangkan bahaya ghibah, aku tidak tahu ada hadits-hadits yang lebih pedas dalam mencela ghibah dibandingkan hadits ini”. (Al-Adzkar hal.290).
3. Mendapat siksa yang pedih
Orang yang menggunjing saudaranya akan mendapat siksaan yang pedih sebagaimana tergambar dalam hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لَمَّا عُرِجَ بِيْ مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمَشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ؟ هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ اْلنَّاسِ وَ يَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tatkala aku dinaikkan saat Isra’ Mi’raj, aku melewati sekelompok orang yang kuku-kuku mereka dari tembaga. Mereka mencakar wajah dan dada-dada mereka dengan kuku tersebut. Aku pun bertanya kepada malak Jibril tentang perihal mereka. Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging manusia (ghibah) dan merusak kehormatan orang lain. (HR.Abu Dawud 4878, Ahmad 3/224, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah 533 ).
4. Kebiasaan orang munafiq
Ghibah merupakan syi’ar dan kebiasaan orang munafiq bukan orang muslim, sebagaimana dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِيْ بَرْزَةَ الأَسْلَمِيْ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ يَدْخُلْ الإِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ تَغْتَابُوْا الْمُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهُمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِيْ بَيْتِهِ
Dari Abi Barzah Al-Aslami bahwasanya Rasulullah bersabda, “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya sementara keimanan tidak masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggibah kaum muslimin, dan janganlah kalian mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib kaum muslimin maka Alloh akan perlihatkan aibnya sekalipun dia berada di dalam rumahnya”. (HR.Abu Dawud 4880, Ahmad 4/421, Dihasankan oleh Al-Albani dalam Shahih Jami’ 3549, lihat pula Al-Misykah 5044).
5. Bagaikan makan daging saudaranya
Orang yang mengghibah dan mencela orang lain ibaratnya dia memakan daging saudaranya, cermatilah hadits berikut ini.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ اْلنَّبِيِّ فَقَامَ رَجُلٌ فَوَقَعَ فِيْهِ رَجُلٌ مَنْ بَعْدَهُ, فَقَالَ اْلنَّبِيُّ: تَخَلَّلْ! فَقَالَ: وَ مِمَّا أَتَخَلَّلُ؟ مَا أَكَلْتُ لَحْمًا! قَالَ: إِنَّكَ أَكَلْتَ لَحْمَ أَخِيْكَ
Dari Abdullah bin Mas’ud dia berkata, “Kami sedang duduk-duduk disisi nabi, tiba-tiba ada seseorang yang berdiri dan mencela orang lain yang setelahnya. Melihat itu nabi berkata, “Bersihkan gigimu! maka dia menjawab mengapa aku harus membersihkannya? aku tidak makan daging! Rasulullah menjawab, “Sesungguhnya engkau telah memakan daging saudaramu!. (Shahih Lighairih. Lihat Shahih Targhib 3/78).
6. Aroma busuk orang yang mengghibah
Ini merupakan balasan bagi orang yang berbuat ghibah, aromanya tidak sedap dicium, berdasarkan hadits:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كُنَّا مَعَ الْنَّبِيِّ فَارْتَفَعَتْ رِيْحٌ مُنْتِنَةٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ أَتَدْرُوْنَ مَا هَذِهِ الرِّيْحُ؟ هَذِهِ رِيْحُ الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Dari Jabir bin Abdillah dia berkata, “Ketika kami sedang bersama Nabi tiba-tiba tercium bau busuk yang tidak enak, kemudian nabi bersabda, “Tahukah kalian bau apakah ini? ini adalah baunya orang-orang yang mengghibah kaum mukminin”. (Hasan Lighairih HR.Ahmad 3/351, lihat Shahih Targhib 3/79).
7. Orang yang merugi
Orang yang suka menggunjing, mencela kaum muslimin dialah sebenarnya orang yang bangkrut dan merugi. Rasulullah bersabda:
أَتَدْرُوْنَ مَنِ الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَ لاَ مَتَاعَ فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِيْ يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَ صِيَامٍ وَ زَكَاةٍ, وَ يَأْتِيْ قَدْ شَتَمَ هَذَا وَ قَذَفَ هَذَا, وَ أَكَلَ مَالَ هَذَا وَ سَفَكَ دَمَ هَذَا وَ ضَرَبَ هَذَا, فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَ هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِيْ النَّارِ
Tahukah kalian siapa orang yang merugi itu? Para sahabat menjawab, “Menurut kami orang yang merugi adalah orang yang tidak punya uang dan perhiasan”. Rasulullah menjelaskan, “Orang yang merugi dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat akan tetapi sayang dia mencela si ini, menuduh si itu, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan memukul. Akhirnya orang tersebut diambil kebaikannya dan di berikan kepada si ini dan itu. Apabila kebaikannya telah habis dan belum cukup untuk menutupi kesalahannya, maka diambil kejelekan orang-orang yang dizholimi kemudian diberikan pada dirinya sampai akhirnya ia dimasukan ke dalam neraka. (HR. Muslim 2581, Tirmidzi 2418, Ahmad 2/303, Lihat As-Shahihah 847).
8. Diberi tempat tinggal di neraka
Ini termasuk bahaya ghibah yang lain, dia akan dicampakkan ke dalam neraka selama tidak mencabut perkataannya. Rasulullah bersabda:
مَنْ قَالَ فِيْ مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيْهِ أَسْكَنَهُ اللهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barangsiapa yang membicarakan sesuatu yang tidak ada pada diri seorang muslim, maka Alloh akan tempatkan dia di neraka sampai dia mencabut perkataannya”. (HR. Abu Dawud 3597, Ahmad 2/70, Hakim 2/27 Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah 438).
9. Sebab tergelincir ke dalam neraka
Berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: إِنَّ اْلعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا يَهْوِى بِهَا فِيْ النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ
Dari Abu Hurairah bahwasanya dia mendengar Rasulullah bersabda, “Sungguh seorang hamba berbicara dengan sesuatu perkataan yang tidak di perhatikan (baik dan buruknya) menyebabkan ia tergelincir ke dalam neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat”. (HR.Bukhari 6477, Muslim 2988).
10. Lebih jelek dari memakan bangkai hewan
Berdasarkan hadits:
عَنْ عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ أَنَّهُ مَرَّ عَلىَ بَغْلٍ مَيْتٍ فَقَالَ لِبَعْضِ أَصْحَابِهِِ: َلأَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ مِنْ هَذَا حَتىَّ يَمْلأُ بَطْنَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Dari Amr bin Ash suatu hari ia pernah melewati bangkai bighal, kemudian berkata kepada para sahabatnya, “Sungguh seseorang memakan bangkai ini sampai kenyang itu lebih baik dari pada memakan daging saudaranya muslim (ghibah)”. (Shahih Mauquf, HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hayyan, lihat Shahih At-Targhib 3/79)
Ghibah Yang Di Bolehkan
Imam Asy-Syaukani berkata, “Ketahuilah keharaman ghibah telah tetap berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan kesepakatan para ulama. Lafazh-lafadz yang terkandung di dalam nash-nash tersebut bersifat umum, mencakup seluruh individu kaum muslimin. Maka tidak boleh mengatakan ghibah dibolehkan ketika keadaan tertentu atau dibolehkan bagi orang tertentu kecuali berdasarkan dalil yang mengkhususkan keumuman ini. Apabila dijumpai dalilnya maka itulah yang dimaksud. Apabila tidak, maka hal ini termasuk berbicara atas Alloh tanpa ilmu, dan termasuk menghalalkan yang diharamkan Alloh tanpa dalil dan bukti dari Alloh. (Raf’ur Raibah Amma Yajuzu wa Ma La Yajuzu Minal Ghibah, lihat Bahjatun Nazhirin 3/35).
Imam Nawawi mengatakan, “Ketahuilah sekalipun ghibah itu diharamkan, akan tetapi dibolehkan pada beberapa keadaan untuk kemashlahatan. Pembolehan ini karena tujuannya adalah benar dan syar’i, tidak mungkin tercapai kecuali dengan salah satu dari enam sebab berikut ini.
1. Penganiayaan
Boleh bagi orang yang di zhalimi untuk bercerita kepada penguasa atau hakim tentang kezhaliman orang yang menzhaliminya. Semisal dia mengatakan, “Si fulan telah menzhalimi saya dengan berbuat demikian dan demikian”. Hal ini dibolehkan berdasarkan firman Alloh:

Alloh tidak menyukai ucapan buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya. Alloh adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.An-nisa: 148).
Juga berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: دَخَلَتْ هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ لاَ يُعْطِيْنِيْ مِنَ الْنَّفَقَةِ مَا يَكْفِيْنِيْ وَ يَكْفِيْ بَنِيَّ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِيْ ذَلِِكَ مِنْ جُنَاحٍ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: خُذِيْ مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوْفِ, مَا يَكْفِيْكِ وَ يَكْفِيْ بَنِيْكِ
Dari Aisyah bahwasanya Hindun bintu ‘Utbah istrinya Abu Sufyan mengadu kepada Rasulullah perihal suaminya, dia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya suamiku orang yang sangat pelit dalam memberi nafkah, tidak mencukupiku dan anak-anakku, kecuali apabila aku mengambilnya tanpa sepengetahuan dirinya. Apakah saya berdosa jika melakukan hal itu? Rasulullah menjawab, “Ambillah hartanya yang bisa mencukupimu dan anak-anakmu dengan cara yang baik”. (Bukhari 2211, Muslim 1714).
2. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran
Semisal dia berkata kepada orang yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk merubah kemungkaran atau meluruskan kesalahan dengan berkata, “Si fulan mengejakan ini, berilah ia peringatan”. Jika tujuannya tidak seperti diatas maka diharamkan.
3. Meminta fatwa
Misalnya ia berkata kepada orang yang dimintai pendapatnya, “Dia telah berbuat demikian, bagaimana caranya agar aku bisa lepas dan mendapatkan hakku kembali? atau ia berkata, “Apa pendapatmu tentang si Fulan yang berbuat demikian?” Hal ini dibolehkan, berdasarkan hadits Hindun diatas juga hadits Fatimah binti Qais yang telah diceraikan oleh suaminya , ia berkata, “Tatkala aku telah halal, aku meminta pendapat Rasulullah bahwasanya Abu Sufyan dan Abu Jahm keduanya hendak melamarku, lantas Rasulullah berkata:
أَمَّا أَبُوْ جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَ أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ, انْكِحِيْ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
Adapun Abu Jahm dia orangnya suka memukul, sedangkan Muawiyah orangnya miskin tidak punya harta, nikahlah engkau dengan Usamah bin Zaid. (HR.Muslim 1480).
4. Memberi nasehat dan peringatan bagi kaum muslimin
Diantara bentuknya adalah menyebutkan orang-orang yang tidak tsiqah dari para perowi hadits. Ini dibolehkan menurut kesepakatan bahkan bisa menjadi wajib. Bentuk yang lain misalnya, engkau melihat orang alim berguru dan mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau orang fasik, dan engkau khawatir bahaya pemikirannya akan merambah kaum muslimin, maka ketika itu wajib bagimu menasehatinya dan menjelaskan orang lain tentang keadaan dia. Perlu diingat tujuannya adalah memberi nasehat bukan hawa nafsu atau hasad belaka.
Dalil dalam masalah ini apa yang pernah disabdakan Rasulullah dalam haditsnya:
لَيُّ اْلوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَ عُقُوْبَتَهُ
Orang yang menunda hutang sedangkan ia mampu membayar, hukumannya dikerasi dan dipenjara. (HR.Abu Dawud 3628, Nasai 4293, Ibnu Majah 2427, Ahmad 4/388, Hakim 4/102, Dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ 1434).
5. Orang yang menampakan kebid’ahan atau kefasikan.
Seperti orang yang terang-terangan mengajak kepada kebid’ahan, orang yang pamer minum khamer, atau yang mengambil harta orang lain secara zhalim. Dasar bolehnya perkara ke lima ini adalah hadits yang berbunyi:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: أَنَّ رُجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلىَ النَّبِيِّ فَقَالَ: ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ أَوْ بِئْسَ رَجُلُ الْعَشِيْرَةِ. فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ أَلاَنَ لَهُ الْقَوْلَ. قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ قُلْتَ الَّذِيْ قُلْتَ, ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ اْلقَوْلَ؟ قَالَ: يَا عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ وَدَعَهُ أَوْ تَرَكَهُ الْنَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
Dari Urwah bin Zubair bahwasanya Aisyah berkata, “Suatu ketika ada seseorang yang minta izin kepada Rasulullah untuk menemuinya, akhirnya Rasulullah mengatakan, “Izinkan dia masuk, dia orang yang paling jelek”. Setelah orang tadi masuk, Rasulullah malah berlaku lembut, dan halus dalam berbicara kepadanya. Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah bukankah engkau tadi mengatakan dia orang yang paling jelek! tetapi mengapa engkau lembut kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Wahai Aisyah orang yang paling jelek kedudukannya disisi Alloh pada hari kiamat kelak adalah orang yang dijauhi oleh manusia karena takut akan kejelekannya”. (Bukhari 6054, Muslim 2591).
Al-Hafizh Al-Isma’ily berkata, “Para imam ahli hadits mereka memandang untuk menjauhi bid’ah dan perbuatan dosa. Mereka berpendapat untuk tidak menyakiti dan berbuat ghibah, kecuali kepada orang yang menampakan kebid’ahan dan menyerukannya, sesungguhnya membicarakan mereka bukan termasuk ghibah”. (I’tiqad Aimmah Al-Hadits hal.78, lihat Syarh Ushulus Sunnah oleh Al-Walid bin Muhammad An-Nashr hal.30)
6.Untuk mengenalkan
Apabila ada orang yang sudah dikenal dengan gelarnya seperti orang yang buta, yang pincang, dan lain-lain maka dibolehkan menyebutkan keadaannya jika memang bertujuan untuk mengenalkan. Apabila tujuannya untuk melecehkan maka haram. Kemudian perlu diperhatikan pula selagi mungkin untuk mengenalkan dengan ciri yang lain maka itu lebih utama.
Demikianlah akhir pembahasan ini, semoga tulisan ini ikhlas karena mencari wajahNya dan bermanfaat bagi penulis serta kaum muslimin di manapun berada. Amiin. Allohu ‘Alam.

Bahaya Fanatik Madzhab

DEFENISI FANATISME
DAN MACAM-MACAMNYA

Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Benar dan salahnya, wala’ dan bara’nya diukur dan didasarkan keperpihakan pada golongan.

Fanatik ini bisa terjadi antar:
1. Kelompok, organisasi, dan madzhab
Iqitidho

2. Individu
Majmu Fatawa

3. Negara
Hal ini juga sering terjadi, sehingga dia menjadikan negaranya sebagai tolok ukur untuk cinta dan benci. Sebagian lagi berdalil untuk menguatkan hal ini dengan sebuah hadits yang popular:
حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ
Cinta tanah air termasuk iman.
Padahal hadits tidak ada asalnya. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: "Hadits ini sangat masyhur sekali di kalangan masyarakat awam sebagai hadits yang shohih, padahal hadits ini adalah palsu dan dusta, bahkan makna kandungannya juga tidak benar, karena cinta negeri bisa termasuk fanatisme".

FENOMENA FANATISME

Fenomena fanatik sangat nyata terpampang tak terelakkan, baik dalam lembaran kitab madzhab klasik dan kontemporer maupun dalam fakta kehidupan. Muatannya sesak dengan saling tuding-menuding, menghujat, dan mencela satu sama lain sehingga memantapkan kita semua bahwa klaim mereka selama ini “semua madzhab adalah benar” hanyalah omong kosong belaka yang tidak ada buktinya.
Sejarah menjadi saksi bahwa fanatik buta hingga detik ini telah menelan korban yang tak sedikit jumlahnya. Berikut saya akan turunkan beberapa ucapan para ahli fanatisme yang masing-masing mengkalim bahwa kebenaran pada pihaknya sendiri sedangkan kebatilan pada pihak madzhab lainnya.
Dari Madzhab Hanafiyyah, Muhammad ‘Alauddin, seorang tokoh yang cukup populer dalam madzhab Hanafi pernah berkata:
فَلَعْنَةُ رَبِّنَا أَعْدَادَ رَمْلٍ
عَلَى مَنْ رَدَّ قَوْلَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ
La’nat Rabb kami sejumlah bilangan pasir
Terhadap orang yang menolak perkataan Abu Hanifah.
Abul Hasan Al-Karkhiy Al-Hanafi juga mengatakan: “Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi penganut madzhab kami (Hanafiyyah), maka dia harus dita’wil (diselewengkan artinya) atau mansukh (dihapus hukumnya)”.
Dalam Madzhab Malikiyyah, mayoritas para penganutnya mempunyai sebuah peribahasa lucu:
لَوْ لَمْ يَكُنْ مَالِكاً
لَكَانَ الدِّيْنُ هَالِكًا
Seandainya bukan karena Malik, maka agama ini akan hancur.
Dalam Madzhab Syafi’iyyah, imam Al-Juwaini As-Syafi’i berkata: “Menurut kami, setiap orang berakal dan seluruh kaum muslimin, baik di timur maupun barat, jarak dekat maupun jauh wajib mengikuti madzhab Syafi’i. Bagi orang yang masih awam dan jahil, mereka harus mengikuti madzhab Syafi’i dan tidak mencari pengganti lainnya”.
Dalam Madzhab Hanabilah, seorang diantara mereka pernah mengungkapkan:
أَنَا حَنْبَلِيٌّ مَا حَيَيْتُ وَإِنْ أَمُتْ
فَوَصِيَّتِيْ لِلنَّاسِ أَنْ يَتَحَنْبَلُوْا
Saya seorang (bermazdhab) hanbali selama hidup dan matiku
Wasiat saya kepada manusia agar mereka bermadzhab Hanbali.
Ucapan-ucapan serupa seringkali kita jumpai dari kalangan ahli fanatik madzhab, bahkan diantara mereka sangat keterlaluan dalam menjunjung tinggi imamnya, memperjuangkan madzhabnya, berkoar agar manusia hanya mengikutinya, mencoreng habis madzhab selainnya serta berusaha sekuat tenaga menjatuhkan kedudukan lawannya.
Teragisnya, sebagian mereka mengangkat kedudukan imam madzhabnya pada derajat yang belum pernah dijangkau oleh seorangpun dari sahabat Nabi. Perhatikanlah ungkapan ‘Alauddin Al-Haskafiy Al-Hanafiy ketika memuji imam Abu Hanifah: “Kesimpulanya, imam Abu Hanifah merupakan mu’jizat Nabi yang paling besar setelah Al-Qur’an. Cukuplah sebagai keutamaan beliau adalah tersohornya madzhab beliau. Tidak pernah dia mengeluarkan suatu pendapat melainkan ada dari imam kaum muslimin yang mengambilnya. Sejak zaman beliau hingga hari ini, Allah selalu menguatkan madzhabnya bagi para penganutnya hingga Isa bin Maryam kelak akan berhukum dengan madzhabnya…”.

HUKUM FANATISME

Banyak kaum muslimin berkeyakinan, baik yang masih awam maupun kyainya bahwa seorang muslim wajib mengikuti salah satu madzhab dari empat madzhab. Sungguh ini merupakan anggapan yang salah fatal dan kejahilan yang mendalam.
Apa yang disindir oleh Syaikh Al-Ma’shumi di atas bukan hanya omong kosong tetapi fakta dan nyata. Banyak para penulis dan penceramah memprogandakan wajibnya bermadzhab. Simaklah apa yang dikatakan Ahmad As-Shawi, salah seorang shufi bermadzhab Maliki dan beraqidah Asya’irah (wafat th. 1241 H): “Tidak boleh taklid selain kepada empat madzhab walaupun sesuai dengan perkataan sahabat, hadits maupun ayat. Orang yang diluar empat madzhab adalah sesat dan menyesatkan, bahkan dapat menjebloskannya ke lubang kekufuran, sebab mengambil tekstual Al-Qur’an dan hadits termasuk sumber kekufuran !!!”.
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad mengomentari ucapan ini: “Ucapan As-Shawi di atas merupakan ucapan yang paling kotor. Seandainya seseorang mencari ucapan yang lebih kotor darinya, mungkin dia tak menemukannya. Hal itu mempengaruhi dirinya dalam menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan akal dan fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah keselamatan”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Tidak ada seorangpun dari kalangan ahli sunnah yang mengatakan: “kesepakatan imam empat adalah hujjah yang ma’shum”, “Kebenaran hanya pada imam empat saja” atau “Siapa yang tidak mengikutinya berarti salah”. Bahkan, apabila ada seorang yang di luar penganut madzhab empat -seperti Sufyan Tsauri, Al-Auza’i, Laits bin Sa’ad dan ulama’ lainnya- suatu perkataan yang bertentangan dengan pendapat madzhab empat, maka harus ditimbang dengan Al-Qur’an dan sunnah. Pendapat yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, itulah yang lebih kuat”.
Berikut ini kami turunkan sejumlah dalil tentang haramnya fanatisme:

Dalil Pertama:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (QS. An-Nur: 63).
Imam Ahmad berkata: "Saya heran dengan suatu kaum yang telah mengenal sanad hadits dan keabsahannya kemudian mereka berpegang dengan pendapat Sufyan (Ats-Tsauri) padahal Allah berfirman (beliau membawakan ayat di atas) lalu berkata: Tahukah engkau apa itu fitnah? Fitnah adalah syirik. Bisa jadi jikalau dia menolak sebagian sunnah Nabi, maka akan bercokol dalam hatinya suatu penyimpangan hingga dia hancur binasa".
Semoga Allah merahmati imam Ahmad. Kalau demikian kecaman keras beliau terhadap orang yang menentang sunnah Nabi dengan pendapat imam Sufyan Tsauri padahal beliau adalah salah satu ulama besar, lantas bagaimana kalau seandainya beliau melihat manusia zaman sekarang yang bukan hanya menolak sunnah dengan perkataan alim ulama, tetapi mereka menentang sunnah dengan pendapat para tokoh agama (kyai) yang juhala' (bodoh), rasionalis, politikus bahkan para artis dan pelawak yang miskin ilmu. Hanya kepada Allah-lah kita mengadu semua ini.

Dalil Kedua:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ اْلأَسْبَابُ
(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. (QS. Al-Baqarah: 166).
Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma'shumi berkata: "Ketahuilah bahwa ayat ini adalah halilintar keras bagi para para ahli taklid karena sikap membeonya mereka terhadap ucapan dan pendapat manusia dalam masalah agama, baik mereka masih hidup atau sudah meninggal dunia! Taklid dalam masalah aqidah dan ibadah! Masalah halal dan haram! Karena semua masalah ini harus bersumber dari Allah dan rasul-Nya, bukan diambil dari pendapat dan pemikiran seorang, lebih-lebih dari para tokoh penyesat agama".

Dalil Ketiga:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara nabi, dan janganlah kamu Berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari. (QS. Al-Hujurat: 2).
Imam Ibnu Qoyyim berkomentar: "Apabila mengeraskan suara mereka di atas suara rasul saja dapat menyebabkan gugurnya amalan mereka, lantas bagaimana kiranya dengan mendahulukan dan mengedepankan pendapat, akal, perasaan, politik dan pengetahuan di atas ajaran rasul ?! Bukankah ini lebih layak untuk sebagai faktor penggugur amalan mereka?!".

Dalil Keempat:
قَالَ النَّبِيُّ: "وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوْسَى ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِيْ لاَتَّبَعَنِيْ".
Rasulullah bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa hadir di tengah kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah tersesat dari jalan yang lurus. Kiranya Musa hidup dan menjumpai kenabianku, dia pasti mengikutiku. (Hasan. riwayat Ad-Darimi dalam Sunannya (441) dan Ahmad (3/471, 4/466) Lihat Al-Misykah (177) oleh Al-Albani).
Maksudnya apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti Musa, seorang nabi mulia yang pernah diajak bicara oleh Allah, maka kita akan tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana pendapatmu apabila kita meninggalakan sunnah Nabi dan mengikuti para kyai, tokoh agama, ustadz, mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan dengan Nabi Musa?!. Fikirkanlah.

Dalil Kelima:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: "يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيكُْم ْحِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ؟!"
Ibnu Abbas berkata: "Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian lantas kalian membantahnya: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata demikian?!" (Shahih. Riwayat Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145).
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh berkata: "Jikalau perkataan yang muncul dari Ibnu Abbas ini diperuntukkan pada orang yang menentang sunnah dengan pendapat Abu Bakar dan Umar yang telah diketahui bersama kedudukan mereka berdua, lantas bagaimana kiranya apa yang akan beliau katakan terhadap orang yang menetang sunnah nabi dengan dengan tokoh dan imam madzhab yang dianutnya? Lalu menjadikan pendapat orang tersebut sebagai tolok ukur Al-Qur'an dan sunnah, bila keduanya sesuai dengan pendapat tokohnya maka diterima dan bila bertentangan dengan pendapat tokohnya maka ditolak atau ditakwil. Kepada Allah kita memohon pertolongan".

DAMPAK NEGATIF FANATISME
Fanatisme memunculkan berbagai dampak negatif yang sangat berbahaya bagi pribadi secara khusus dan masyarakat secara umum. Demi kewaspadaan kita semua agar tidak terjerat dalam belenggunya, maka akan kami paparkan beberapa dampak tersebut:
1. Memejamkan mata dari argumen yang kuat dan berpegang dengan argumen yang rapuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menandaskan: “Mayoritas orang-orang fanatik mazdhab tidak mendalami Al-Qur’an dan sunnah kecuali segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat rapuh atau hikayat-hikayat dari para tokoh ulama’ yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong”.

2. Mementahkan dalil shahih karena bertentangan dengan madzhab.
Bahkan seringkali mereka mementahkan dalil shahih dengan uslub yang kasar. Sebagai contoh, KH. Sirajuddin Abbas tatkala mengomentari hadits Abu Malik Al-Asyja’iy tentang bid’ahnya qunut shubuh terus-menerus sebagaimana dilakukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia: “Nampaknya Thariq ini tidak dapat dipercayai omongannya dan mungkin ini bukan perkataan Thariq, tetapi disebut-sebut oleh orang lain dan dikatakan ucapan Tahriq!!!”.

3. Menimbulkan api perselisihan dan permusuhan
Persatuan dan kedamaian terasa mustahil terwujudkan bila penyakit fanatik madzhab masih bercokol di dada kaum muslimin. Bahkan api kebencian, percekcokan dan perpecahan bertambah menyala-nyala dalam kehidupan. Imam Dzahabi menceritakan bahwa Muhammad bin Musa Al-Balasaghuniy pernah berkata: “Seandainya aku menjadi pemimpin, niscaya aku akan mengambil pajak dari penganut madzhab Syafi’i”.
Dalam Muqaddimah buku “Halil Muslim Mulzam bi Ittiba’ Madzhabin Mu’ayyan” oleh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi diceritakan begini: “Rombongan Jepang pernah berkeinginan masuk agama Islam. Untuk melaporkan keperluannya, mereka pergi ke sebuah lembaga Islam di kota Tokyo. Ternyata para pengurusnya dari berbagai madzhab. Orang India mengatakan: “Rombongan ini wajib mengikuti madzhab Abu Hanifah karena beliau adalah pelita umat sedangkan orang Indonesia “Jawa” menyahut: “Madzhab Syafi’i lebih utama untuk dianut”. Mendengar keributan para pengurus tersebut, rombongan Jepang terheran-heran dan merasa kebingungan sehingga akhirnya mereka tidak jadi masuk Islam”.
Nyarisnya, sumber permusuhan itu biasanya berinduk pada masalah fiqih belaka. Imam Dzahabi menceritakan bahwa Abu Abdillah Muhammad bin Fadhl Al-Farra’ pernah menjadi imam shalat di masjid Abdullah selama enam puluh tahun lamanya, beliau bermadzhab Syafi’i dan melakukan qunut (shubuh). Setelah itu, imam shalat diambil alih oleh seorang yang bermadzhab Maliki, beliau tidak qunut (shubuh). Karena hal ini menyelisihi tradisi masyarakat, akhirnya mereka bubar meninggalkannya seraya berkomentar: “Shalatnya gak pecus!!!”.

4. Menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya
Imam Ibnul Jauzy mengatakan: “Termasuk tipu daya Iblis terhadap para fuqaha’ yaitu tatkala jelas kebenaran berada di tangan lawannya, dia akan tetap bersikukuh mempertahankan pendapatnya dan merasa sesak dada untuk menerima kebenaran dari lawannya, bahkan dia akan berusaha menggulingkan lawan padahal sudah jelas dia yang benar. Hal seperti ini sangat nista sekali, karena fungsi dialog adalah mencari kebenaran sebagaimana dikatakan oleh Syafi’i: “Tidak pernah saya berdialog dengan seseorang yang menolak kebenaran kecuali dia hina di hadapanku dan tidak pernah saya berdialog dengan seseorang yang menerima kebenaran kecuali dia berwibawa dalam pandanganku. Tidak pernah saya berdialog dengan seseorang kecuali saya akan mengikuti kebenaran, bila kebenaran memang bersamanya saya akan mengikutinya dan bila kebenaran bersamaku dia mengikutiku”.(Talbis Iblis hal.120).
Anzah walau torot

5. Mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.
Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:
Ahmad As-Shawi berkata ketika menafsirkan surat Fathir:
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَءَاهُ حَسَنًا
Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik. (QS. Fathir: 8).
Katanya: “Ayat ini turun kepada kelompok Khawarij yang merubah makna Al-Qur’an hadits dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin sebagaimana dapat kita saksikan sekarang pada cikal bakalnya yang berada di Hijaz yaitu Wahhabiyyah!! Mereka menyangka bahwa kelompoknya di atas hujjah padahal tidak sama sekali. Ketahuilah mereka adalah manusia pendusta. Syetan telah menjangkiti mereka sehingga membuat mereka lupa dari mengingat Allah. Merekalah bala tentara Syetan. Ketahuilah bahwa bala tentara Syetan pasti merugi. Kita memohon kepada Allah agar meluluhlantahkan kekuatan mereka”.
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana fanatik madzhab membuat buta para pemeluknya sehingga mengeluarkan kata yang tak terkontrol oleh akal warasnya. Saya di sini bukan untuk membantah kedustaan ini sebab sebagaimana kata seorang penyair:
أَئِمَّةُ حَقٍّ كَالشُّمُوْشِ اشْتِهَارُهُمْ فَمَاانْطَمَسُوْا إِلاَّ مَنْ بِهِ عُمَى
Para imam kebenaran, popularitas mereka seperi matahari
Tidak ada yang mencela mereka kecuali orang yang buta.

6. Merubah nash demi kepentingan madzhab.
Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:
Atsar tentang qunut shubuh yang diriwayatkan oleh imam Ahmad (3/472), Ibnu Majah (1241), Tirmidzi (2/252) dan beliau menshahihkannya:
عَنْ ماَلِكٍ الأَشْجَعِيِّ قَالَ : قُلْتُ لأَبِيْ: يَا أَبَتِ! إِنَّكَ صَلَّيْتَ وَرَاءَ النَّبِيِّ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هَا هُنَا بِاالْكُوْفَةِ, أَكَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِيْ الْفَجْرِ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ
Dari Malik Asyja’iy berkata: “Saya pernah bertanya kepada ayahku: “Wahai ayahku! Engkau pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali di Kufah sini selama lima tahun lamanya, apakah mereka melakukan qunut shubuh? Jawab beliau: ‘Wahai anakku, Itu merupakan perkara baru”!!
Dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Muhadzab (3/484) karya imam Nawawi, cetakan yang ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Najib Al-Muti’iy, seorang tokoh mazdhab Syafi’i di Mesir sekarang tertulis begini:
أَيْ بُنَيَّ فَحَدِّثْ
Wahai anakku, ceritakanlah!!
Hal ini tidak lain kecuali karena dampak fanatik madzhab yang mengakar kuat pada dirinya. Dalam kitabnya An-Nafilah fil Ahaditsil Bathilah (1/47), Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini, salah seorang ulama’ ahli hadits Mesir murid Syaikh Al-Albani menceritakan bahwa beliau pernah mendengar Syaikh Muhammad Najib Al-Muti’iy mengatakan: “Shalatnya orang yang meninggalkan qunut shubuh secara sengaja hukumnya batal tidak sah”!
Sungguh alangkah indahnya apa yang pernah saya baca dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah (3/388) karya Al-Muhaddits Al-Albani, kata beliau: “Dalam biografi Abul Hasan Al-Kurjiy As-Syafi’i (wafat th. 532 H) diceritakan bahwa beliau tidak melakukan qunut shubuh seraya berkata: “Tidak ada hadits shahih tentang hal itu”. Syaikh Al-Albani mengomentari: “Ini menunjukkan akan kedalaman ilmu dan inshafnya (keadilan), semoga Allah merahmatinya. Beliau termasuk orang yang diselamatkan Allah dari belenggu fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah agar termasuk mereka”.

7. Memalsukan hadits demi menjunjung madzhab.
Fanatik madzhab mempunyai andil yang cukup besar dalam pemalsuan hadits demi membela madzhab. Contohnya, hadits palsu bikinan orang-orang fanatik madzhab Abu Hanifah sebagai berikut:
سَيَأْتِيْ مِنْ بَعْدِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ النُّعْمَانَ بْنَ ثَابِتٍ وَيُكْنَى أَبَا حَنِيْفَةَ لَيُحْيِيَنَّ دِيْنَ اللهِ وَسُنَّتِيْ عَلَى يَدَيْهِ
Akan datang setelahku seorang yang bernama Nu’man bin Tsabit dan kunyah-nya Abu Hanifah, sungguh dia akan menghidupkan agama Allah dan sunnahku. (Lihat Tanzih Syari’ah 2/30 karya Ibnu ‘Arraq dan Tarikh Baghdad 2/289 karya Al-Khatib Al-Bahgdadi).
Lebih ngeri lagi pernah dikatakan kepada Ma’mun bin Ahmad Al-Harawi: “Bagaimana pendapatmu tentang Syafi’i dan para pengikutnya di Khurasan?” Dia menjawab: “Menceritakanku Ahmad bin Abdillah bin Mi’dan dari Anas secara marfu’:
يَكُوْنًُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ أَضَّّرَ عَلَى أُمَّتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ وَيَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبَا حَنِيْفَةَ هُوَ سِرَاجُ أُمَّتِيْ
Akan datang pada umatku seorang yang bernama Muhammad bin Idris (nama imam Syafi’i), dia lebih berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku seorang bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita umatku. (Lihat Lisanul Mizan (5/7-8) karya Ibnu Hajar dan Tadrib Rawi (1/277) karya As-Suyuthi).
Hadits ini disamping maudhu’ (palsu), juga bertentangan dengan ketegasan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa pelita umat adalah Nabi Muhammad sebagaimana dalam surat Al-Ahzab: 46

8. Mewajibkan taklid kepada seorang imam madzhab.
Para fanatisme madzhab akan menyerukan kepada kaumnya tentang kewajiban taklid yaitu mengambil pendapat seorang tanpa mengetahui dalilnya. Bahkan, untuk mencapai tujuan ini, mereka membuat hadits dusta yaitu:
مَنْ قَلَّدَ عَالِمًا لَقِيَ اللهَ سَالِمًا
Barangsiapa yang taklid kepada seorang alim, maka dia akan berjumpa Allah dengan selamat.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha pernah ditanya tentang hadits ini dalam Majalah Al-Manar (34/759) lalu beliau menjawab : “Itu bukan hadits”. Hal ini disetujui oleh Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam Silislah Ahadits Ad-Dha’ifah (551).
Berikut ucapan para propagandis taklid beserta sedikit sanggahannya:
1. Al-Baijury dalam “Jauharah Tauhidnya” pernah mengungkapkan:
فَوَاجِبٌ تَقْلِيْدُ حَبْرٍ مِنْهُمْ كَذَا حَكَى الْقَوْمُ بِلَفْظٍ يُفْهَمُ
Sewajibnya untuk taklid kepada seorang alim diantara mereka
Demikianlah diceritakan oleh suatu kaum dengan lafadz yang mudah difahami.
Syaikh Muhammad Ahmad Al-Adawi berkata dalam Al-Jadid ‘ala Jauharah Tauhid hal. 111 mengomentari bait di atas: “Kami belum mendapati pendahulu bagi penulis yang mewajibkan taklid”.
2. KH. Ahmad Masduqi berkata: “Apabila sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang sebagian besar umat Islam di seluruh dunia yang termasuk dalam golongan Ahlus sunnah wal Jam’ah (ala mereka -pent-) membanarkan adanya kewajiban taklid bagi orang yang tidak mencukupi syarat-syarat untuk berijtihad…”.
Ini adalah ucapan batil dari akarnya dan kebohongan nyata!. Tidak pernah ada kewajiban seperti ini dari Allah, Rasulullah hatta imam madzhab sekalipun, karena pendapat mereka itu kadang benar dan kadang juga salah. Seringkali para imam imam madzhab berpendapat suatu pendapat lalu setelah jelas baginya dalil, dia ruju’ (kembali) kepada dalil. Para imam sendiri telah mengucapkan perkataan-perkataan berharga tentang haramnya taklid kepada mereka. Imam Syafi’i sendiri pernah berkata:
كُلُّ مَا قُلْتُ وَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى وَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ
Setiap ucapan saya yang bertentangan dengan hadits shahih, maka hadits Nabi lebih utama dan janganlah kalian taklid kepadaku. (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu (1/66) oleh Ibnu Abi Hatim).
Tentang haramnya taklid dan bahayanya, para ulama sudah membahas secara tuntas seperti imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam I’lam Muwaqqi’in, Syaikh Shalih Al-Fulani dalam Iqhadhul Himami Ulil Abshar, Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi Al-Hujandi dalam Halil Muslim Mulzam bi Ittiba’i Madzhabin Mu’ayyanin, Syaikh Muhammad ‘Ied Al-Abbasi dalam Bid’ah Ta’ashub Madzhabi, Muhammad Nasiruddin Al-Albani dalam muqaddimah Sifat Shalat Nabi dan masih banyak lainnya lagi.

9. Menutup pintu ijtihad.
KH. Ahmad Masduqi berkata dalam bukunya “Konsep Dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah hal. 60 : “Atau dengan lain perkataan, belum pernah ada orang yang mampu memasuki “Pintu Ijthad Yang Mutlaq” semenjak dahulu sampai sekarang, meskipun pintu tersebut tidak pernah ditutup. Dan apabila di sana-sini banyak kita jumpai orang-orang yang berlagak pilon mengaku sebagai mujtahid, artinya menggali sendiri dari Al-Qur’an dan Al-hadits dalam menjalankan syari’at Islam dan tidak mau mengikuti pendapat imam madzhab, maka sebenarnya mereka tidak lebih dari orang-orang yang membebek kepada guru-guru mereka yang masih belum memahami benar-benar arti ijtihad, apalagi memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad”.
Ucapan adalah salah fatal, tipu daya tak samar, kesesatan nyata dan ajaran baru yang diusung oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab sehingga berdampak negatif yaitu sikap kolot terhadap pendapat madzhab,

PENGINGKARAN ULAMA

KEMBALI KEPADA AL-QUR'AN DAN SUNNAH

KHOTIMAH

LAMPIRAN

CINTA NEGERI

Hadits ini seringkali muncul dalam upacara-upacara untuk menumbuhkan semangat patriotisme dan menyuburkan rasa kebangsaan. Sehingga hadits ini begitu populer sekali di masyarakat, dihafal bahkan dianggap sebagai suatu hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad.
Namun permasalahannya adalah: Benarkah ungkapan tersebut termasuk hadits yang diucapkan oleh Nabi Muhammad? Bagaimana dengan substansi makna kandungannya?! Kajian berikut akan mencoba untuk mencari jawabannya. Wallahul Muwaffiq.

Teks Hadits

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ
Cinta tanah air termasuk iman.

Derajat Hadits dan Komentar Ulama
TIDAK ADA ASALNYA. Berikut ucapan para ulama pakar ahli hadits:
As-Shoghoni berkata: “Termasuk hadits-hadits yang palsu”.
As-Suyuthi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.
As-Sakhowi berkata: “Saya tidak mendapatinya”.
Al-Ghozzi berkata: “Ini bukan hadits”.
Az-Zarkasyi: “Saya belum mendapatinya”.
Sayyid Mu’inuddin ash-Shofwi berkata: “Ini bukan hadits”.
Mula al-Qori berkata: “Tidak ada asalnya menurut para pakar ahli hadits”.
Al-Albani berkata: “Maudhu’ (palsu)”.
Lajnah Daimah yang diketahui oleh Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Ucapan ini bukan hadits nabi , ia hanyalah ucapan yang beredar di lisan manusia lalu dianggap sebagai hadits.

Matan Hadits
Syaikh al-Albani berkata: "Dan maknanya tidak benar. Sebab cinta negeri sama halnya cinta jiwa dan harta; seseorang tidak terpuji dengan sebab mencintainya lantaran itu sudah tabiat manusia. Bukankah anda melihat bahwa seluruh manusia berperan serta dalam kecintaan ini, baik dia kafir maupun mukmin?!
Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُُ مِّنْهُمْ
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:"Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. (QS. An-Nisa': 66)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga mencintai tanah air mereka. Musuh-musuh Islam telah menjadikan hadits palsu ini untuk menghilangkan syi’ar agama dalam masyarakat dan menggantinya dengan syi’ar kebangsaan, padahal aqidah seorang mukmin lebih berharga baginya dari segala apapun".
Berlebih-lebihan terhadap tanah air bisa sampai kepada derajat memberhalakannya. Dan terkadang Syetan menggambarkan kepada sebagian mereka bahwa tanah air lebih baik daripada surga ‘Adn, sebagaimana seorang di antara mereka mengatakan:
هَبْ جَنَّةُ الْخُلْدِ الْيَمَنْ
لاَ شَيْئَ يَعْدِلُ الْوَطَنْ
Anggaplah bahwa surga yang kekal adalah Yaman
Tidak ada sesuatupun yang melebihi tanah air.
Seorang lainnya mengatakan:
وَطَنِيْ لَوْ شُغِلْتُ بِالْخُلْدِ عَنْهُ
نَازَعَتْنِيْ إِلَيْهِ فِي الْخُلْدِ نَفْسِيْ
Tanah airku, seandainya aku disibukkan oleh surga darinya
Niscaya jiwaku akan menggugatku di surga menuju tanah airku.

Sebab Menyebarnya Hadits
Al-Hafizh asy-Syaukani berkata menjelaskan sebab menyebarnya hadits-hadits palsu seperti ini: "Para ahli sejarah telah meremehkan dalam mengutarakan hadits-hadits bathil seputar keutamaan negeri, lebih-lebih negeri mereka sendiri, mereka sangat meremehkan sekali, sampai-sampai menyebutkan hadits palsu dan tidak memperingatkannya, sebagaimana dilakukan oleh Ibnu Dabi' dalam Tarikhnya yang berjudul "Qurrotul Uyun bi Akhbaril Yaman Al-Maimun" dan kitab lainnya yang berjudul "Bughyatul Mustafid bi Akhbar Madinah Zabid" padahal beliau termasuk ahli hadits.
Maka hendaknya seorang mewaspadai dari keyakinan ini atau meriwayatkannya, karena kedustaan dalam masalah ini sudah menyebar dan melampui batas. Semua itu sebabnya adalah fithrah manusia untuk cintah tanah air dan kampung halamannya".

Apakah Cinta Negeri Terlarang?
Al-Ustadz A. Hassan –semoga Allah merahmatinya- berkata: "Tidak ada undang-undang manusia yang tidak terdapat di hukum-hukum agama, larangan atas seorang mencintai bangsanya dan tanah airnya malah tidak terlarang, dia cinta kepada kerbau dan spinya, kambing dan anjingnya, kelinci dan kucingnya, ayam dan bebeknya.
Sekali lagi, agama tidak menghalangi seseorang mencintai segala sesuatu hatta tanah dan pasir di negeri satrunya.
Cuma, janganlah dibawa-bawa agama dalam urusan yang agama tidak jadikan urusan. Jangan dibawa-bawa kalimat:
حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ
Cinta tanah air termasuk iman.
Ini dikatakan hadits Nabi, padahal bukan.
Kalau orang cinta tanah air membawakan hadits palsu itu, maka orang cinta kucing akan membawakan hadits palsu lain:
حُبُّ الْهِرَّةِ مِنَ الإِيْمَانِ
Cinta kucing itu sebagian dari iman.

Hendaknya Untuk Islam bukan Sekedar Kebangsaan
Syaikh Muhammad al-Utsaimin berkata: "Kita apabila perang hanya untuk membela Negara tidak ada bedanya dengan orang kafir yang juga perang untuk membela Negara mereka.
Seorang yang perang hanya untuk membela negeri saja maka dia bukanlah syahid, namun kewajiban kita sebagai muslim dan tinggal di negeri Islam adalah untuk perang karena Islam yang ada di negeri kita. Perhatikanlah baik-baik perbedaan ini, kita berperang karena Islam yang ada di negeri kita, adapun sekadar karena negeri saja maka ini adalah niat bathil yang tidak berfaedah bagi seorang. Adapun ungkapan yang dianggap hadits "Cinta negeri termasuk keimanan" maka ini adalah dusta.
Cinta Negara, apabila karena Negara tersebut adalah Negara Islam maka kita mencintainya karena Islamnya, tidak ada bedanya apakah Negara kelahiran kita ataukan Negara Islam yang jauh, maka wajib bagi kita untuk membelanya karena Negara Islam.
Kesimpulannya, seharusnya kita mengetahui bahwa niat yang benar tatkala perang adalah untuk membela Islam di negeri kita atau membela Negara kita karena Negara Islam, bukan hanya karena sekedar Negara saja".
Al-Ustadz A. Hassan mengatakan: "Dalam mencintai tanah air secara kebangsaan itu ada beberapa kesalahannya yang besar bagi orang yang beragama Islam:
Pertama: yang sebesar-besarnya, ialah emnjalankan hukum-hukum yang bukan dari Allah dan RasulNya.
Kedua: dengan terpaksa, karena pembawaan kebangsaan, memandang muslim di negerinya yang bukan sebangsa dan setanah air dengannya sebagai orang asing, padahal sebenarnya ia mesti pandang seperti saudara.
Ketiga: Memutuskan perhubungan antara lain-lain negeri Islam dengan alasan mereka bukan sebangsa dan setanah air, walaupun Allah dan Rasul telah katakana mereka saudara yang mesti bersatu.
Dari sini, dapat kita ketahui kesalahan ucapan sebagian tokoh tatkala mengatakan: “Kita tidak memerangi Yahudi karena masalah aqidah!! Kita memerangi mereka karena tanah!! Kita tidak memerangi karena mereka kafir!! Tetapi kita memerangi karena mereka merampas tanah kita tanpa lasan yang benar!!!”.

Ba'dal Haji

Al-Hamdulillah, itulah sebuah kata yang semestinya selalu kita ucapkan sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah atas segala limpahan karuniaNya yang diberikan kepada kita semua, khususnya kepada penulis pribadi yang lemah ini. Salah satu diantaranya, Allah telah memberikan kesempatan kepadanya untuk menunaikan ibadah haji untuk dirinya sendiri kemudian disusul juga untuk ayahnya -rahimahullah- yang telah meninggal dunia. Kami berdoa kepada Allah agar Dia tidak mencabut kenikmatan ini darinya, dan kamipun tidak lupa berdoa agar saudara-saudari kami juga dimudahkan oleh Allah untuk hal yang sama.
Sengaja penulis bercerita sedikit dan mengungkapkan hal di atas karena dua alasan:
Pertama: Sebagai realisasi firman Allah:

Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur). (QS. Adh-Dhuha: 11)

Kedua: Ketika penulis menginformasikan kepada keluarga bahwa dirinya akan menghajikan untuk sang ayah, ternyata ada celetukan yang membuatnya kaget dan bengong; “Lho, kata orang, menghajikan model begitu enggak boleh”!! Entahlah, penulis saat itu tidak dapat berkomentar banyak, karena memang dia tidak ingin berdebat dalam dialog waktu itu, disebabkan momen yang kurang tepat. Hanya saja ada sesuatu yang terpendam dan mengganjal hingga saat ini: “Dari manakah datangnya celetukan itu?! Siapakah yang mengajari mereka seperti itu?! Adakah ulama yang berpendapat seperti itu?! Segudang pertanyaan selalu membuntuti penulis untuk mencari jawabannya!!.
Penulis mencoba untuk menelusuri dan berfikir sebentar, ternyata ingatannya terbang pada buku yang pernah dia baca kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu buku “Kata Berjawab” oleh Ustadz yang mulia, Abdul Qadir Hassan -rahimahullah-, dimana beliau berkomentar tentang hadits bolehnya si anak berpuasa atau menghajikan orang tua: “Hadits ini lemah, sekalipun terdapat dalam Shahih Bukhari Muslim!! Karena bertentangan dengan Al-Qur’an, dimana Allah berfirman:

Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm: 39)
Sedangkan termasuk syarat keabsahan suatu hadits adalah tidak bertentangan dengan Al-Qur’an!!
Sepertinya inilah yang disindir oleh Ustadzuna al-Fadhil Abu Unaisah Abdul Hakim Abdat -Hafidhahullah- dalam kitabnya Al-Masail Juz. 3, masalah 66 -ketika membicarakan bahwa metode Ahli bid’ah dalam menolak hadits adalah mempertentangkan antara Al-Qur’an dengan hadits atau sebaliknya-: “Jadi tidak perlu dipertentangkan antara ayat (surat An-Najm di atas -pent) dengan hadits-hadits yang datang menjelaskan:
1. Bahwa apabila anak bersedekah atas nama kedua orang tua atau salah satunya yang telah wafat, maka pahalanya akan sampai pada mereka. (Riwayat Bukhari Muslim).
2. Atau anak menghajikan orang tuanya yang masih hidup tetapi sudah tidak kuat lagi karena disebabkan usia tua atau sakit menahun. (Riwayat Bukhari Muslim).
3. Atau anak menghajikan orang tuanya yang sudah wafat.
4. Atau membayar puasa orang tuanya yang telah wafat.
Atau diakui bahwa hadits-hadits tersebut memang shahih sanadnya, akan tetapi dha’if matan-nya ?! Semua itu menjelaskan alangkah dha’if-nya (lemahnya) mereka dalam memahami Al-Qur’an dan hadits. Dan alangkah jahilnya mereka terhadap manhaj ilmiyyah para sahabat di dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah…”.
Dari sinilah, pada edisi kali ini, hati ini tergerak untuk mengulas masalah ini -sekalipun secara sederhana- agar permasalahan ini menjadi jelas bagi kita semua. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua pencari kebenaran, penerima kebenaran, dan penyeru kebenaran. Amiin.

TEKS HADITS
Ada beberapa hadits yang akan menjadi bahan berharga bagi kita untuk mengulas permasalahan ini, yaitu sebagai berikut:

Pertama: Hadits Abdullah bin Abbas
Riwayat dari Ibnu Abbas ini memiliki banyak lafadz yang sangat penting, diantaranya:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : كَانَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيْفَ رَسُوْلِ اللهِ, فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ مِنْ خَثْعَمَ, فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ, وَجَعَلَ النَّبِيُّ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الآخَرِ. فَقَالَتْ : يَارَسُوْلَ اللهِ, إِنَّ فَرِيْضَةَ اللهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أََبِيْ شَيْخًا كَبِيْرًا, لاَ يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ, أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ: نَعَمْ, وَذَلِكَ فِيْ حَجَّةِ الْوَدَاعِ
Dari Ibnu Abbas berkata: Pernah Fadhl bin Abbas dibonceng oleh Nabi, lalu datanglah seorang wanita dari Khats’am, maka Fadhl melihatnya dan wanita itupun juga memandangnya. Nabi kemudian memalingkan wajah Fadhl ke arah lain. Wanita itu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban Allah kepada hambaNya untuk berangkat haji telah terpenuhi pada ayahku yang telah lanjut usia dan tidak bisa naik di atas kendaraan, apakah saya boleh mengahajikan untuknya? Jawab Nabi: Boleh. Hal itu pada saat haji wada’.
SHAHIH. Diriwayatkan Bukhari 1513, Muslim 1334, Abu Dawud 1809, Nasai 2641, 2642, Tirmidzi 928, Ibnu Majah 2909, Darimi 1/370-371, Ahmad 1/212, 213, 219, 251, 329, 346, 359, ath-Thayyalisi 2663, al-Humaidi 507, Ibnu Khuzaimah 4/342, 343, Ibnu Jarud dalam al-Muntaqa 497, al-Baihaqi 4/328, ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 3/210-220, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 7/25 dari jalur Sulaiman bin Yasar dari Ibnu Abbas.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ : إِنَّ أُخْتِيْ نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ وَإِنَّهَا مَاتَتْ؟ فَقَالَ : لَوْ كَانَ عَلَيْهَا دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيْهِ؟ قَالَتْ : نَعَمْ, قَالَ : فَاقْضُوْا اللهَ فَهُوَ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Dari Ibnu Abbas bahwa ada seorang lelaki yang datang kepada Nabi seraya berkata: Sesungguhnya saudariku bernadzar untuk haji tetapi dia meninggal dunia terlebih dahulu. Nabi bersabda: Seandainya dia punya hutang, apakah engkau akan melunasinya? Jawabnya: Ya. Nabi bersabda: Kalau begitu, penuhilah hutangnya kepada Allah karena itu lebih utama untuk dilunasi.
SHAHIH. Diriwayatkan Bukhari 6699, Nasai 2633, Ahmad 1/239-240, 345, ath-Thayyalisi 2621, Ibnu Khuzaimah 4/346, ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 12332, 12443, 12444, Ibnu Jarud dalam al-Muntaqa 501, al-Baihaqi 4/335, Baghawi dalam Syarh Sunnah 7/28 dari jalur Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ : إِنَّ أَبِيْ مَاتَ وَلَمْ يَحُجَّ, أَفَأَحُجُّ عَنْهُ؟ قَالَ : أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيْكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ؟ قَالَ : نَعَمْ, قَالَ :حُجَّ عَنْ أَبِيْكَ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya ada seorang laki-laki datang kepada Nabi seraya bertanya: Sesungguhnya ayahku meninggal dunia dan dia belum haji, aakah aku boleh haji untuknya? Nabi menjawab:Bagaimana pendapatmu seandainya ayahmu memiliki hutang, apakah engkau akan melunasinya? Jawabnya” Ya. Nabi bersabda: Kalau begitu, berhajilah untuk ayahmu.
SHAHIH. Diriwayatkan Ibnu Hibban dalam Shahihnya 3971-Ihsan-, ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 3/221, ath-Thabrhani 12332 dari beberapa jalur dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.
Syaikh al-Albani berkata: “Sanad ini shahih, seluruh perawinya terpercaya, para perawi Bukhari Muslim”. (Silisilah ash-Shahihah 7/103).
Dan diriwayatkan dengan lafadzh serupa oleh Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 4/343-344 dan Ibnul Jarud dalam al-Muntaqa 498 dengan sanad shahih dari jalur Hammad bin Zaid dari Abu Tayyah dari Musa bin Salamah dari Ibnu Abbas.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ سَمِعَ رَجُلاً يَقُوْلُ : لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ, قَالَ : مَنْ شُبْرُمَةُ؟ قَالَ : أَخٌ لِيْ أَوْ قَرَابَةٌ لِيْ, قَالَ : هَلْ حَجَجْتَ قَطُّ؟ قَالَ : لاَ, قَالَ : فَاجْعَلْ هَذِهِ عَنْكَ ثُمَّ لَبِّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi pernah mendengar seorang lelaki berkata: Ya Allah, aku penuhi panggilanMu untuk Syubrumah. Nabi bertanya: Siapakah Syubrumah? Jawabnya: Saudaraku atau kerabatku. Nabi bertanya lagi: Apakah kamu sudah pernah haji sebelumnya? Jawabnya: Belum. Nabi bersabda: Kalau begitu, maka jadikanlah ini untukmu kemudian tahun berikutnya untuk Syubrumah.
SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 1811, Ibnu Majah 2903, Abu Ya’la 4/329, Ibnu Khuzaimah 4/345, Ibnu Hibban 962, ath-Thabrani dalam Mu’jam Kabir 12/42-43, ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 3/223, ad-Daraquthni 2/270, Ibnul Jarud dalam al-Muntaqa 499, al-Baihaqi 4/336 dari jalur Abdah bin Sulaiman dari Said bin Abu ‘Arubah dari Qhatadah dari Azrah dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas.
Al-Baihaqi berkata: “Sanadnya shahih. Tidak ada sebuah hadits dalam bab ini yang lebih shahih darinya”.
Dan diperselisihkan oleh para ulama apakah hadits marfu’ (sampai kepada Nabi) atau hanya mauquf sampai pada Ibnu Abbas saja. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis 3/836-838 memiliki pembahasan menarik tentangnya, dan beliau menyimpulkan keshahihannya. (Lihat pula Nashbur Rayah az-Zailai 3/155, Irwaul Ghalil al-Albani 4/171)

Kedua: Hadits Abu Razin (Laqith bin Amir)

عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ الْعُقَيْلِيِّ أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ : إِنَّ أَبِيْ شَيْخٌ كَبِيْرٌ لاَ يَسْتَطِيْعُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ وَلاَ الظَّعْنَ؟ قَالَ : حُجَّ عَنْ أَبِيْكَ وَاعْتَمِرْ

Dari Abu Razin al-Uqaili bahwa beliau pernah datang kepada Nabi seraya berkata: Sesungguhnya ayahku telah lanjut usia, dia tidak mampu untuk berhaji, berumrah dan naik kendaraan. Nabi bersabda: Berangkatlah haji dan umrah untuk ayahmu .
SHAHIH. Diriwayatkan Abu Dawud 1810, Nasai 2637, Tirmidzi 930, Ibnu Majah 2906, Ahmad 4/10,11, 12, ath-Thayyalisi 1091, Ibnu Khuzaimah 4/345-346, Ibnu Hibban 961, Ibnul Jarud dalam al-Muntaqa 500, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 2/123, ath-Thahawi dalam Musykil Atsar 3/221-222, ad-Daraquthni 2/183, al-Hakim 1/481, al-Baihaqi 4/329 dari beberapa jalur dari Syu’bah dari Nu’man bin Salim dari Amr bin Aus dari Abu Razin al-Uqaili.
At-Tirmidzi berkata: “Hadits Hasan Shahih”.
Ad-Daraquthni berkata: “Seluruh perawinya terpercaya”. Dan disetujui oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’lam Muwaqqi’in 6/325.
Al-Hakim berkata: “Shahih, menurut syarat Bukhari Muslim”. Dan disetujui adz-Dzahabi!!
Yang benar adalah menurut syarat Muslim saja, sebab Nu’man bin Salim bukanlah rawi Imam Bukhari.
Imam Ahmad berkata -sebagaimana dinukil Ibnu Abdil Hadi dalam at-Tanqih-: “Saya tidak mengetahui hadits tentang wajibnya umrah, yang lebih bagus dan lebih shahih daripada hadits ini”.

Ketiga: Hadits Buraidah

عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ : جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ فَقَالَتْ : إِنَّ أُمِّيْ مَاتَتْ وَلَمْ تَحُجَّ, أَفَأَحُجُّ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ, حُجِّيْ عَنْهَا

Dari Buraidah berkata: Telah datang seorang wanita kepada Nabi dan berkata: Sesungguhnya ibuku meninggal dan belum haji, apakah saya menghajikan untuknya? Jawabnya: Ya. Hajilah untuknya.
SHAHIH. Diriwayatkan Muslim 1149, Tirmidzi 929, Abu Dawud 2877 dari jalur Abdullah bin Atha’ dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah.
Tirmidzi berkata: “Hadits hasan shahih”.
Ibnu Qayyim berkata: “Hadits shahih”. (I’lam Muwaqqi’in 6/326)
Demikianlah beberapa hadits yang shahih tentang masalah ini. Sebenarnya masih banyak lagi hadits-hadits semakna dengannya, hanya saja secara sanad tidak luput dari pembicaraan ulama. Namun tidak masalah kalau kita sebutkan di sini secara ringkas :
4. Anas bin Malik. (Riwayat Daruquthni 2/260, Thabrani 1/258)
5. Ali bin Abi Thalib. (Riwayat Baihaqi 4/329)
6. Abdullah bin Zubair dari Saudah bin Zam’ah. (Riwayat Ahmad 6/429, Nasai 2644, Baihaqi 4/329)
7. Hushain bin Auf. (Riwayat Ibnu Majah 2908).
Kesimpulannya, hadits tentang haji badal adalah hadits-hadits yang shahih tanpa keraguan di dalamnya.

FIQIH HADITS
Berbicara tentang haji badal, maka ada beberapa pembahasan dan hukum yang sangat penting untuk kita ketahui bersama. Oleh karenanya, agar lebih mudah memahami masalah ini, maka akan kita urut pembahasan ini satu persatu dalam beberapa point berikut:

1. Bolehnya Haji badal
Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukan bolehnya seorang menghajikan kerabatnya, baik sudah meninggal dunia maupun masih hidup yang tidak mampu berangkat haji seperti karena usia lanjut, sakit yang tidak diharapkan sembuhnya, atau tidak kuat naik di atas kendaraan (seperti mabuk, mual -pent). (Syarh Muslim an-Nawawi 9/102). Dan pahalanya akan sampai untuk orang yang dihajikan. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 24/306-315 dan ar-Ruuh Ibnu Qayyim hal. 305-320).
Imam Tirmidzi berkata: “Telah shahih banyak hadits dari Nabi tentang masalah ini. Inilah pendapat para ahli ilmu dari kalangan para sahabat Nabi dan selainnya. Ini juga pendapat Tsauri, Ibnul Mubarak, Syafi’I, Ahmad dan Ishaq, semuanya berpendapat bolehnya menghajikan orang yang sudah meninggal. Adapun Malik, beliau berkata: “Kalau memang dia berwasiat sebelumnya supaya dihajikan, maka dihajikan”. Sebagian mereka membolehkan untuk menghajikan orang yang masih hidup apabila telah lanjut usia atau keadaannya tidak memungkinkan untuk berangkat haji. Demikian pendapat Ibnul Mubarak dan Syafi’I”. (Tuhfatul Ahwadzi 3/807-808).
Kalau ada yang berkata: Hal ini bertentangan dengan firman Allah:

Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm: 39)
Maka kita jawab:
a. Tidak ada pertentangan antara Al-Qur’an dan hadits, sebab keduanya sama-sama wahyu dari Allah. Hadits Nabi itu merupakan penjelas Al-Qur’an, bukan penentang Al-Qur’an. Metode mempertentangan antara Al-Qur’an dan hadits bukanlah metode Ahli hadits, tetapi metode ahli bid’ah untuk menolak sunnah Nabi. Oleh karenanya, perhatikanlah para sahabat, para tabi’in dan para ulama salaf yang merupakan generasi yang paling faham terhadap Al-Qur’an, apakah mereka menolak hadits ini dengan alasan ayat di atas?!! Fahamilah!!

b. Ayat yang mulia di atas hanya bersifat umum, yang dikecualikan/dikhususkan dengan hadits-hadits shahih di atas. (Nailul Authar 2/592 asy-Syaukani, Subulus Salam ash-Shan’ani 2/171). Al-Izzu bin Abdus Salam berkata dalam al-Fatawa 2/24: “Barangsiapa melakukan ketaatan untuk Allah kemudian dia menghadiahkan pahalanya untuk orang hidup atau mati, maka pahalanya tidak sampai kepadanya, karena manusia tidak memperoleh kecuali apa yang dia usahakan, kecuali apa yang dikecualikan oleh syari’at seperti shadaqoh, puasa dan haji”.

c. Telah datang beberapa hadits yang menunjukkan bahwa seorang anak merupakan usaha terbaik bagi orang tua. Nabi bersabda:
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ, وَإِنَّ وَلَدَهُ مِنْ كَسْبِهِ
Sebaik-baik harta yang dimakan oleh seorang adalah dari hasil usahanya, dan anaknya termasuk hasil usahanya. (Hasan. Riwayat Ahmad 6/31, Abu Dawud 3528, Tirmidzi 1358, dll. Lihat Ahkamul Janaiz al-Albani hal. 217)
Dengan demikian maka hadits ini tidak bertentangan sama sekali dengan ayat di atas, karena anak merupakan usaha terbaik orang tua.

2. Kapan seorang boleh dihajikan?!
Tidak semua orang boleh untuk diwakili hajinya. Namun harus diperinci sebagai berikut:
Pertama: Kalau dia mampu untuk berangkat haji sendiri maka tidak boleh diwakili hajinya, bahkan kalau diwakili maka hajinya tidak sah. Imam Ibnu Mundzir berkata: “Para ulama bersepakat bahwa orang yang berkewajiban haji dan dia mampu melakukannya sendiri maka tidak boleh dihajikan orang lain dan tidak sah”. (Al-Ijma’ hal. 24, Al-Mughni Ibnu Qudamah 5/22). Hal itu karena pada asalnya ibadah itu harus dilakukan oleh orang itu sendiri sebagai bentuk peribadahan kepada Allah. Dan menurut pendapat yang kuat, hal ini juga mencakup haji yang sunnah, bukan hanya wajib.

Kedua: Kalau dia tidak mampu untuk berangkat haji, maka hal ini diperinci lagi:
1. Kalau memang kemungkinan besar akan hilang penghalang tersebut maka sebaiknya ditunggu sehingga dia melakukannya sendiri, seperti kemiskinan, gila, sakit yang diharapkan kesembuhannya, dipenjara dan sebagainya. Contoh: Seorang terkena penyakit yang kemungkinan besar akan sembuh di kemudian hari, maka kita katakan kepadanya: Tunggulah sehingga Allah menyembuhkanmu dan berangkatlah haji sendiri. Kalau memungkinkan pada tahun ini maka itulah yang dicari, tetapi kalau tidak memungkinkan maka tidak mengapa pada tahun-tahun berikutnya.
2. Kalau kemungkinan besar penghalangnya tidak hilang seperti lanjut usia atau sakit parah yang tidak diharapkan bisa sembuh, maka di sinilah dia hendaknya mewakilkan orang lain untuk menghajikannya. (Lihat Fiqih Ibadat Syaikh Ibnu Utsaimin hal. 336, al-Mughni Ibnu Qudamah 5/22-23, Fathul Bari Ibnu Hajar 4/91)

3. Syarat orang yang menghajikan
Ada beberapa syarat yang harus terpenuhi bagi orang yang menghajikan, baik syarat umum maupun syarat khusus.
Adapun syarat umum, yakni syarat-syarat yang umum bagi semua orang yang menunaikan haji, bahkan dalam semua ibadah. Hal ini telah terkumpul dalam sebuah bait berikut:
الْحَجُّ وْالْعُمْرَةُ وَاجِبَانِ فِي الْعُمْرِ مَرَّةً بِلاَ تَوَانِيْ
بِشَرْطِ إِسْلاَمٍ كَذَا حُرِيَّةْ عَقْلٍ بُلُوْغٍ قُدْرَةٍ جَلِيَّةْ

Haji dan umrah hukumnya wajib
Sekali dalam seumur hidup tanpa menunda-nunda
Dengan syarat Islam, demikian pula bebas
Berakal, baligh, dan mampu .
Sedangkan syarat khusus yang kami maksud adalah sebagai berikut:
Pertama: Ketika ihram, dia meniatkan hajinya untuk orang yang dihajikan. Jadi dia tidak berniat untuk dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain yang akan dia hajikan, seperti mengatakan: Labbaika an fulan (Kami penuhi panggilanMu untuk si fulan -menyebut namanya-). Syarat ini telah disepakati oleh semua ulama, beradasarkan hadits:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
Sesungguhnya semua amalan itu harus dengan niat. (Bukhari 1 Muslim 1907)

Kedua: Dia sudah pernah melakukan kewajiban haji untuk dirinya sendiri , berdasarkan hadits “Syubrumah” dalam riwayat Ibnu Abbas di atas. Hal ini merupakan madzhab Hanabilah dan Syafi’iyyah.
Adapun madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah, mereka berpendapat tidak disyaratkan harus haji terlebih dahulu, berdasarkan hadits Ibnu Abbas tentang wanita yang bertanya untuk menghajikan ayahnya, dimana Nabi tidak bertanya terlebih dahulu kepadanya: Apakah engkau sudah pernah haji untuk dirimu sendiri?!
Syaikh as-Syinqithi berkata dalam Adhwa’ul Bayan 5/108: “Pendapat yang lebih kuat menurutku adalah mendahulukan hadits yang lebih khusus yaitu kisah Syubrumah, karena di sini dalil umum berbenturan dengan dalil khusus, maka yang khusus lebih didahulukan. Jadi seorang tidak boleh menghajikan orang lain sehingga dia menunaikan kewajiban hajinya terlebih dahulu”. Apalagi hal ini didukung dengan keumuman sabda Nabi:
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ
Dahulukanlah dirimu terlebih dahulu. (Muslim 997)
Adapun jawaban terhadap alasan yang digunakan madzhab Malikiyyah dan Hanafiyyah: Kita bawa hadits tersebut bahwa Nabi telah mengetahui kalau wanita tersebut sudah menunaikan kewajiban hajinya. Hal ini kita lakukan untuk mengkompromikan antara beberapa dalil, sekalipun kita tidak tahu secara pasti akan hal itu. Demikian kata al-Kamal Ibnu Humam dalam Fathul Qadir 2/317. Apa yang dikatakan Ibnu Humam tidak jauh dari kebenaran, sebab dalam sebagian lafadz hadits, disebutkan bahwa wanita tersebut bertanya pada hari nahr (10 dzul hijjah), maka bisa jadi beliau bertanya kepada Nabi untuk menghajikan orang tuanya pada tahun berikutnya, dan dia sudah berhaji pada tahun itu. Wallahu A’lam.

Ketiga: Ikhlas dan bukan karena mencari dunia. Barangsiapa berangkat haji untuk mengharap dunia dan harta, maka hukumnya haram. Tidak halal baginya melakukan amalan akherat dengan niat untuk meraih dunia , berdasarkan firman Allah:

(QS. Hud: 15-16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hendaknya dia mengambil uang untuk berangkat haji, bukan berangkat haji untuk mengambil uang. Barangsiapa haji dengan tujuan untuk mengambil uang, maka tiada bagian baginya di akherat kelak. Adapun barangsiapa mengambil uang sekedarnya dengan tujuan untuk berangkat menghajikan saudaranya, maka hukumnya boleh”. (Lihat Majmu Fatawa 26/14-20).

Keempat: Apakah harus anaknya sendiri?!
Sebagian ahli ilmu berpendapat bahwa yang boleh menghajikan orang lain itu hanya khusus anaknya sendiri. al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/90 berkata: “Tidak ragu bahwa hal ini merupakan kejumudan”, sebab dalam hadits syubrumah misalkan, dia menghajikan “saudara atau kerabatnya”. Demikian juga dalam sebagian lafadz hadits Ibnu Abbas disebutkan: “saudariku”. Apalagi Nabi telah menggambarkannya sebagai hutang, yang itu bisa dibayar oleh siapapun, baik anak, kerabat, maupun selainnya.
Berkata Majd bin Taimiyyah: “Hadits ini menunjukkan sahnya menghajikan orang yang telah meninggal dunia, baik yang menghajikan itu ahli warisnya ataukah tidak, sebab Nabi tidak memerinci dan bertanya kepada penanya: Apakah engkau termasuk ahli warisnya ataukah tidak? Demikian pula Nabi memper-umpamakannya dengan hutang”. Dan telah mapan dalam kaidah ushul fiqih:
تَرْكُ الاِسْتِفْصَالِ فِيْ مَقَامِ الاِحْتِمَالِ يُنَزَّلُ مَنْزِلَةَ الْعُمُوْمِ
Tidak memerinci dalam keadaan yang masih mengandung kemungkinan dihukumi umum.
(Lihat Nailul Authar asy-Syaukani 2/592-593)

Kelima: Harus dari tempat orang yang dihajikan?!
Gambaran masalahnya sebagai berikut: Kalau orang yang dihajikan ada di Indonesia misalnya, sedangkan yang mau menghajikan sedang berada di Saudi Arabia. Apakah berangkat hajinya dari Indonesia sehingga dia pulang ke Indonesia terlebih dahulu, ataukah cukup dari Miqat terdekat di Saudi Arabia?! Sebagian ulama mengatakan harus dari Indonesia, sebab dia menggantikan seorang yang seandainya dia berangkat, maka berangkat dari Indonesia. Ini merupakan pendapat Hanabilah. (Ar-Raudh Murbi’ al-Buhuthi 5/34).
Adapun para ulama lainnya, mereka mengatakan bahwa hal itu tidak perlu, karena itu hanya sekedar wasilah (perantara) saja, bukan tujuan utama. Inilah pendapat yang lebih kuat. Allahu A’lam. Masalah ini sama persis dengan seorang yang berada di masjid menjelang waktu shalat, apakah akan kita katakan: Pulanglah terlebih dahulu ke rumahmu, kemudian datanglah ke masjid untuk memenuhi panggilan shalat?!! (Lihat Syarh Mumti’ Ibnu Utsaimin 8/34).

4. Wanita boleh menghajikan pria dan sebaliknya
Hal ini sangat nyata dalam hadits Ibnu Abbas tentang pertanyaan wanita dari Khts’am. Ibnu Mundzir berkata: “Para ulama bersepakat bahwa hajinya seorang lelaki untuk wanita atau seorang wanita menghajikan lelaki hukumnya adalah sah. Hasan bin Shalih bersendirian tatkala dia berpendapat bahwa hal itu dibenci”. (Al-Ijma’ hal. 24).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Wanita boleh menghajikan wanita lainnya dengan kesepakatan ulama, baik putrinya sendiri atau selainnya. Demikian juga wanita boleh menghajikan pria menurut imam empat dan mayoritas ulama”. (Majmu’ Fatawa 26/13-14).

5. Bila meninggal dunia sebelum haji
Apabila ada seorang berkewajiban haji lalu meninggal dunia sebelum berangkat haji, maka apakah wajib untuk dihajikan oleh kerabatnya dengan uang peninggalannya?! Masalah ini di perselisihkan ulama:
Madzhab Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan wajib dihajikan, baik dia berwasiat maupun tidak, sebab itu adalah hutang yang harus dibayar berdasarkan hadits-hadits pembahasan di atas.
Adapun madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah, mereka mengatakan: Kewajibannya telah gugur, berdasarkan firman Allah: “

Seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. (QS. An-Najm: 39)
Alasan lainnya, karena haji adalah ibadah badan yang gugur dengan kematian seperti shalat.
Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat pertama, sebab hadits-hadits di atas mengkhususkan keumuman ayat al-Qur’an, adapun menyamakan dengan shalat maka sungguh sangat jauh sekali, sebab shalat adalah ibadah yang tidak bisa diwakilkan, berbeda dengan haji.
Adapun apabila dia meninggal dunia ketika tengah melakukan manasik haji, maka menurut pendapat yang kuat tidak perlu diteruskan/disempurnakan manasiknya, berdasarkan hadits tentang seorang muhrim yang terlempar untanya ketika wuquf di Arafah (Bukhari 1265 Muslim 1206). Dan tidak ada penukilan dari Nabi bahwa beliau memerintahkan kepada para sahabat agar menyempurnakan ihramnya.
Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami kemukakan. Bila ada pendapat yang lemah maupun kesalahan dalam tulisan ini, maka kami sangat menunggu teguran dan nasehatnya. Wallahu Al-Muwaffiq.