Oleh: Abu Abdillah Al-Atsari
Jika kita cermati lisan-lisan
manusia dewasa ini sungguh sangat memprihatinkan dan menyedihkan sekali,
bagaimana tidak? kebanyakan orang tidak lagi memperhatikan dan menjaga
lisannya, ucapan yang terlontar dari mulutnya tidak di pikirkan kembali
baik dan buruknya, ia keluar bagaikan kilat, cepat menyambar mengenai
sasaran. Diantara fenomena penyakit lisan yang sering kita jumpai adalah
ghibah. Ghibah termasuk perkara yang sudah jelas keharamannya, lebih
jelas daripada matahari di siang bolong. Namun alangkah sedikitnya orang
yang mau memperhatikan dan mengilmui larangan ini. Semoga ulasan
berikut dapat mengingatkan orang-orang yang lalai menjaga lisannya, dan
nasehat bagi kaum muslimin dimanapun berada. Allohu Muwaffiq.
Definisi Ghibah
Ghibah sebagaimana diinformasikan oleh Nabi adalah:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا
الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: ذِكْرُكَ
أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا
أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ, وَ
إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah
bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu? para
sahabat menjawab, “Alloh dan rasulNya yang lebih tahu”. Maka Rasulullah
bersabda, “Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu
yang ia benci”, kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana jika yang aku
katakan memang ada padanya? Rasulullah menegaskan, “Jika yang engkau
katakan memang ada pada dirinya, maka itulah ghibah. Jika tidak, maka
engkau telah berbuat dusta padanya”. (HR.Muslim 2589, Tirmidzi 1934, Abu
dawud 4874, Darimi 2717, Ahmad 2/230).
Al-Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan, “Telah terjadi silang pendapat dikalangan ulama tentang
definisi ghibah dan hukumnya. Adapun mengenai definisi ghibah, Raghib
Al-Asfahani pernah mengatakan, “Ghibah adalah seseorang menyebutkan aib
orang lain tanpa ada hajat untuk menyebutkannya”. Lain halnya dengan
Imam Ghozali dia pernah mengatakan, “Ghibah adalah engkau menyebutkan
saudaramu dengan sesuatu yang ia benci jika hal itu sampai padanya”.
(Fathul Bari 10/576).
Berkata Imam Ibnul Atsir, “Ghibah adalah
menyebutkan aib yang ada pada diri seseorang yang tidak ada
dihadapannya. Apabila menyebutkan aib yang tidak ada pada dirinya maka
itu adalah kedustaan”. (An-Nihayah 3/399).
Imam Nawawi mengatakan,
“Ghibah adalah engkau menyebutkan orang lain dengan sesuatu yang ia
benci, baik dalam hal badan, agama, dunia, rupa, akhlak, harta,
anak-anaknya dan lain-lain yang berhubungan dengan dirinya. Sama saja
engkau menyebutkannya dengan ucapan, tulisan, isyarat mata dan kepala
dan lain sebagainya”. (Al-Adzkar hal.288).
Hukum Ghibah
Tidak diragukan lagi ghibah hukumnya adalah haram, berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
Firman Alloh:
وَلاَيَغْتَب
بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ
Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Alloh.
Sesungguhnya Alloh Maha penerima taubat lagi Maha penyayang.
(Al-Hujuraat: 12).
Berkata Imam Ibnu Katsir, “Sungguh telah datang
peringatan yang sangat keras tentang ghibah. Oleh karena itu Alloh
menyerupakannya dengan memakan daging manusia yang sudah menjadi
bangkai. Sebagaimana kalian membencinya memakan daging yang sudah mati
maka bencilah ghibah karena agama. Sesungguhnya balasan ghibah lebih
keras dari sekedar yang demikian”. (Tafsir Al-Qur’an Azhim 4/192).
Rasulullah bersabda:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ قَالَ: أَتَدْرُوْنَ مَا
الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ, قَالَ: ذِكْرُكَ
أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيْلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا
أَقُوْلُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيْهِ مَا تَقُوْلُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ, وَ
إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah
bahwasanya Rasulullah bersabda, “Tahukah kalian apakah ghibah itu? para
sahabat menjawab, “Alloh dan rasulNya yang lebih tahu”. Maka Rasulullah
bersabda, “Ghibah adalah engkau menyebutkan saudaramu dengan sesuatu
yang ia benci”, kemudian ada yang bertanya, “Bagaimana jika yang aku
katakan memang ada padanya? Rasulullah menegaskan, “Jika yang engkau
katakan memang ada pada dirinya, maka itulah ghibah. Jika tidak, maka
engkau telah berbuat dusta padanya”. (HR.Muslim 2589, Tirmidzi 1934, Abu
dawud 4874, Darimi 2717, Ahmad 2/230).
Dua dalil diatas kiranya
cukup sebagai isyarat akan keharaman perkara ghibah. Ditambah lagi telah
terjadi kesepakatan ulama tentang haramnya ghibah. Berikut penulis
nukilkan sebagian perkataan mereka.
Imam Ibnu Katsir mengatakan,
“Ghibah diharamkan menurut kesepakatan ulama, tidak ada pengecualian,
kecuali apabila memang mengandung mashlahat yang besar seperti jarah wa
ta’dil dan memberi nasehat”. (Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim 4/192).
Imam
Al-Qurthubi mengatakan, “Tidak ada perselisihan bahwa ghibah termasuk
dosa besar. Barangsiapa yang menghibah orang lain, wajib baginya untuk
bertaubat kepada Alloh”. (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an 16/220).
Imam
Nawawi berkata, “Ghibah dan namimah diharamkan menurut kesepakatan kaum
muslimin. Dalil-dalil keharaman keduanya sangat tegas dan jelas
berdasarkan al-Qur’an, as-sunnah dan kesepakatan umat”. (Al-Adzkar
hal.288).
Bahaya Ghibah
1. Merusak kehormatan seorang muslim
Ketahuilah
wahai saudaraku, kehormatan seorang muslim dalam din ini sangat
terjaga. Tidak dibenarkan bagi siapa pun untuk merusak dan menggangu
kehormatannya tanpa alasan yang syar’i. Orang yang menggunjing
saudaranya berarti dia telah membicarakan dan menggangu kehormatan
seorang muslim, dan hal itu terlarang dengan tegas, Rasulullah bersabda:
إِنَّ
دِمَاءَكُمْ وَ أَمْوَالَكُمْ , وَ أَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ
كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا
Sesungguhnya
darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram (terjaga), sebagaimana
kehormatan pada hari ini, pada bulan ini dan di negeri ini. (HR.Bukhari
67, Muslim 1679).
Bahkan orang yang merusak kehormatan kaum muslimin
ancamannya sangat keras, bagaikan orang yang berbuat riba paling besar,
sebagaimana dalam sebuah hadits:
عَنْ سَعِيْدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ
اْلنَّبِيِّ قَالَ: إِنَّ مِنْ أَرْبَى اْلرِّبَا اْلاِسْتِطَالَةَ
اْلمَرْءِ فِيْ عِرْضِ الْمُسْلِمِ بِغَيْرِ حَقٍّ
Dari Sa’id bin Zaid
bahwasanya Rasulullah bersabda, “Sesunguhnya riba yang paling besar
adalah membicarakan kehormatan seorang muslim tanpa hak”. (HR. Abu Dawud
4876, Ahmad 1/190, Thabrani 357, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Shahih Targhib 3/77).
2. Dosa yang tidak ringan
Sering kita jumpai
seseorang mengucapkan kalimat yang menurutnya sepele, padahal pada
hakekatnya dia telah terjatuh dalam ghibah tanpa sadar. Perhatikanlah
hadits berikut sebagai pelajaran bahwa ucapan yang ringan bisa
mendatangkan dosa yang besar.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قُلْتُ
لِلنَّبِيِّ: حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَ كَذَا – قَالٍَ: تَعْنِيْ
قَصِيْرَةً فَقَالَ: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَ بِهَا اْلبَحْرُ
لَمَزَجَتْهُ
Dari Aisyah bahwasanya dia berkata kepada Nabi,
“Cukuplah engkau menyebutkan Shofiyyah, dia itu begini dan begitu
(berkata sebagian rowi, maksudnya Shofiyyah adalah wanita yang pendek)!
Rasulullah akhirnya menegur Aisyah dengan mengatakan, “Sungguh engkau
telah mengucapkan sebuah kalimat apabila dicampur dengan air laut
niscaya air laut tersebut akan tercemar”. (HR.Abu Dawud 4875, Tirmidzi
2502, Ahmad 6/128, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 4853).
Berkata
Imam Nawawi, “Hadits ini termasuk yang paling keras dalam menerangkan
bahaya ghibah, aku tidak tahu ada hadits-hadits yang lebih pedas dalam
mencela ghibah dibandingkan hadits ini”. (Al-Adzkar hal.290).
3. Mendapat siksa yang pedih
Orang yang menggunjing saudaranya akan mendapat siksaan yang pedih sebagaimana tergambar dalam hadits berikut:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: لَمَّا عُرِجَ بِيْ
مَرَرْتُ بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمَشُوْنَ
وُجُوْهَهُمْ وَ صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ مَنْ هَؤُلاَءِ يَا جِبْرِيْلُ؟
هَؤُلاَءِ الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ اْلنَّاسِ وَ يَقَعُوْنَ فِيْ
أَعْرَاضِهِمْ
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda,
“Tatkala aku dinaikkan saat Isra’ Mi’raj, aku melewati sekelompok orang
yang kuku-kuku mereka dari tembaga. Mereka mencakar wajah dan dada-dada
mereka dengan kuku tersebut. Aku pun bertanya kepada malak Jibril
tentang perihal mereka. Jibril menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang
memakan daging manusia (ghibah) dan merusak kehormatan orang lain.
(HR.Abu Dawud 4878, Ahmad 3/224, Dishahihkan oleh Al-Albani dalam
As-Shahihah 533 ).
4. Kebiasaan orang munafiq
Ghibah merupakan syi’ar dan kebiasaan orang munafiq bukan orang muslim, sebagaimana dalam sebuah hadits:
عَنْ
أَبِيْ بَرْزَةَ الأَسْلَمِيْ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: يَا مَعْشَرَ
مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَ لَمْ يَدْخُلْ الإِيْمَانُ قَلْبَهُ لاَ
تَغْتَابُوْا الْمُسْلِمِيْنَ وَ لاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ
مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهُمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ وَ مَنْ
يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِيْ بَيْتِهِ
Dari Abi Barzah
Al-Aslami bahwasanya Rasulullah bersabda, “Wahai orang-orang yang
beriman dengan lisannya sementara keimanan tidak masuk ke dalam hatinya,
janganlah kalian menggibah kaum muslimin, dan janganlah kalian
mencari-cari aib mereka. Barangsiapa yang mencari-cari aib kaum muslimin
maka Alloh akan perlihatkan aibnya sekalipun dia berada di dalam
rumahnya”. (HR.Abu Dawud 4880, Ahmad 4/421, Dihasankan oleh Al-Albani
dalam Shahih Jami’ 3549, lihat pula Al-Misykah 5044).
5. Bagaikan makan daging saudaranya
Orang yang mengghibah dan mencela orang lain ibaratnya dia memakan daging saudaranya, cermatilah hadits berikut ini.
عَنْ
عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: كُنَّا عِنْدَ اْلنَّبِيِّ فَقَامَ
رَجُلٌ فَوَقَعَ فِيْهِ رَجُلٌ مَنْ بَعْدَهُ, فَقَالَ اْلنَّبِيُّ:
تَخَلَّلْ! فَقَالَ: وَ مِمَّا أَتَخَلَّلُ؟ مَا أَكَلْتُ لَحْمًا! قَالَ:
إِنَّكَ أَكَلْتَ لَحْمَ أَخِيْكَ
Dari Abdullah bin Mas’ud dia
berkata, “Kami sedang duduk-duduk disisi nabi, tiba-tiba ada seseorang
yang berdiri dan mencela orang lain yang setelahnya. Melihat itu nabi
berkata, “Bersihkan gigimu! maka dia menjawab mengapa aku harus
membersihkannya? aku tidak makan daging! Rasulullah menjawab,
“Sesungguhnya engkau telah memakan daging saudaramu!. (Shahih Lighairih.
Lihat Shahih Targhib 3/78).
6. Aroma busuk orang yang mengghibah
Ini merupakan balasan bagi orang yang berbuat ghibah, aromanya tidak sedap dicium, berdasarkan hadits:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ: كُنَّا مَعَ الْنَّبِيِّ
فَارْتَفَعَتْ رِيْحٌ مُنْتِنَةٌ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ أَتَدْرُوْنَ مَا
هَذِهِ الرِّيْحُ؟ هَذِهِ رِيْحُ الَّذِيْنَ يَغْتَابُوْنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
Dari
Jabir bin Abdillah dia berkata, “Ketika kami sedang bersama Nabi
tiba-tiba tercium bau busuk yang tidak enak, kemudian nabi bersabda,
“Tahukah kalian bau apakah ini? ini adalah baunya orang-orang yang
mengghibah kaum mukminin”. (Hasan Lighairih HR.Ahmad 3/351, lihat
Shahih Targhib 3/79).
7. Orang yang merugi
Orang yang suka menggunjing, mencela kaum muslimin dialah sebenarnya orang yang bangkrut dan merugi. Rasulullah bersabda:
أَتَدْرُوْنَ مَنِ الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا: الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ
دِرْهَمَ لَهُ وَ لاَ مَتَاعَ فَقَالَ: إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِيْ
يَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَ صِيَامٍ وَ زَكَاةٍ, وَ
يَأْتِيْ قَدْ شَتَمَ هَذَا وَ قَذَفَ هَذَا, وَ أَكَلَ مَالَ هَذَا وَ
سَفَكَ دَمَ هَذَا وَ ضَرَبَ هَذَا, فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَ
هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يَقْضِيَ
مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ
فِيْ النَّارِ
Tahukah kalian siapa orang yang merugi itu? Para
sahabat menjawab, “Menurut kami orang yang merugi adalah orang yang
tidak punya uang dan perhiasan”. Rasulullah menjelaskan, “Orang yang
merugi dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan
membawa pahala shalat, puasa dan zakat akan tetapi sayang dia mencela si
ini, menuduh si itu, memakan harta orang lain, menumpahkan darah, dan
memukul. Akhirnya orang tersebut diambil kebaikannya dan di berikan
kepada si ini dan itu. Apabila kebaikannya telah habis dan belum cukup
untuk menutupi kesalahannya, maka diambil kejelekan orang-orang yang
dizholimi kemudian diberikan pada dirinya sampai akhirnya ia dimasukan
ke dalam neraka. (HR. Muslim 2581, Tirmidzi 2418, Ahmad 2/303, Lihat
As-Shahihah 847).
8. Diberi tempat tinggal di neraka
Ini termasuk
bahaya ghibah yang lain, dia akan dicampakkan ke dalam neraka selama
tidak mencabut perkataannya. Rasulullah bersabda:
مَنْ قَالَ فِيْ مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيْهِ أَسْكَنَهُ اللهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
“Barangsiapa yang membicarakan sesuatu yang tidak ada pada diri
seorang muslim, maka Alloh akan tempatkan dia di neraka sampai dia
mencabut perkataannya”. (HR. Abu Dawud 3597, Ahmad 2/70, Hakim 2/27
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah 438).
9. Sebab tergelincir ke dalam neraka
Berdasarkan hadits:
عَنْ
أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: إِنَّ
اْلعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا
يَهْوِى بِهَا فِيْ النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ
الْمَغْرِبِ
Dari Abu Hurairah bahwasanya dia mendengar Rasulullah
bersabda, “Sungguh seorang hamba berbicara dengan sesuatu perkataan yang
tidak di perhatikan (baik dan buruknya) menyebabkan ia tergelincir ke
dalam neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur
dan barat”. (HR.Bukhari 6477, Muslim 2988).
10. Lebih jelek dari memakan bangkai hewan
Berdasarkan hadits:
عَنْ
عَمْرِو بْنِ اْلعَاصِ أَنَّهُ مَرَّ عَلىَ بَغْلٍ مَيْتٍ فَقَالَ
لِبَعْضِ أَصْحَابِهِِ: َلأَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ مِنْ هَذَا حَتىَّ
يَمْلأُ بَطْنَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Dari
Amr bin Ash suatu hari ia pernah melewati bangkai bighal, kemudian
berkata kepada para sahabatnya, “Sungguh seseorang memakan bangkai ini
sampai kenyang itu lebih baik dari pada memakan daging saudaranya muslim
(ghibah)”. (Shahih Mauquf, HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hayyan, lihat Shahih
At-Targhib 3/79)
Ghibah Yang Di Bolehkan
Imam Asy-Syaukani
berkata, “Ketahuilah keharaman ghibah telah tetap berdasarkan Al-Qur’an,
As-Sunnah dan kesepakatan para ulama. Lafazh-lafadz yang terkandung di
dalam nash-nash tersebut bersifat umum, mencakup seluruh individu kaum
muslimin. Maka tidak boleh mengatakan ghibah dibolehkan ketika keadaan
tertentu atau dibolehkan bagi orang tertentu kecuali berdasarkan dalil
yang mengkhususkan keumuman ini. Apabila dijumpai dalilnya maka itulah
yang dimaksud. Apabila tidak, maka hal ini termasuk berbicara atas Alloh
tanpa ilmu, dan termasuk menghalalkan yang diharamkan Alloh tanpa dalil
dan bukti dari Alloh. (Raf’ur Raibah Amma Yajuzu wa Ma La Yajuzu Minal
Ghibah, lihat Bahjatun Nazhirin 3/35).
Imam Nawawi mengatakan,
“Ketahuilah sekalipun ghibah itu diharamkan, akan tetapi dibolehkan pada
beberapa keadaan untuk kemashlahatan. Pembolehan ini karena tujuannya
adalah benar dan syar’i, tidak mungkin tercapai kecuali dengan salah
satu dari enam sebab berikut ini.
1. Penganiayaan
Boleh bagi
orang yang di zhalimi untuk bercerita kepada penguasa atau hakim tentang
kezhaliman orang yang menzhaliminya. Semisal dia mengatakan, “Si fulan
telah menzhalimi saya dengan berbuat demikian dan demikian”. Hal ini
dibolehkan berdasarkan firman Alloh:
Alloh tidak menyukai ucapan
buruk yang diucapkan dengan terus terang kecuali oleh orang yang
dianiaya. Alloh adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS.An-nisa:
148).
Juga berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: دَخَلَتْ
هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ عَلىَ رَسُوْلِ اللهِ
فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيْحٌ لاَ
يُعْطِيْنِيْ مِنَ الْنَّفَقَةِ مَا يَكْفِيْنِيْ وَ يَكْفِيْ بَنِيَّ
إِلاَّ مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ فَهَلْ عَلَيَّ فِيْ
ذَلِِكَ مِنْ جُنَاحٍ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ: خُذِيْ مِنْ مَالِهِ
بِالْمَعْرُوْفِ, مَا يَكْفِيْكِ وَ يَكْفِيْ بَنِيْكِ
Dari Aisyah
bahwasanya Hindun bintu ‘Utbah istrinya Abu Sufyan mengadu kepada
Rasulullah perihal suaminya, dia berkata, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya suamiku orang yang sangat pelit dalam memberi nafkah, tidak
mencukupiku dan anak-anakku, kecuali apabila aku mengambilnya tanpa
sepengetahuan dirinya. Apakah saya berdosa jika melakukan hal itu?
Rasulullah menjawab, “Ambillah hartanya yang bisa mencukupimu dan
anak-anakmu dengan cara yang baik”. (Bukhari 2211, Muslim 1714).
2. Meminta bantuan untuk merubah kemungkaran
Semisal
dia berkata kepada orang yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan untuk
merubah kemungkaran atau meluruskan kesalahan dengan berkata, “Si fulan
mengejakan ini, berilah ia peringatan”. Jika tujuannya tidak seperti
diatas maka diharamkan.
3. Meminta fatwa
Misalnya ia berkata
kepada orang yang dimintai pendapatnya, “Dia telah berbuat demikian,
bagaimana caranya agar aku bisa lepas dan mendapatkan hakku kembali?
atau ia berkata, “Apa pendapatmu tentang si Fulan yang berbuat
demikian?” Hal ini dibolehkan, berdasarkan hadits Hindun diatas juga
hadits Fatimah binti Qais yang telah diceraikan oleh suaminya , ia
berkata, “Tatkala aku telah halal, aku meminta pendapat Rasulullah
bahwasanya Abu Sufyan dan Abu Jahm keduanya hendak melamarku, lantas
Rasulullah berkata:
أَمَّا أَبُوْ جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ
عَاتِقِهِ وَ أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ, انْكِحِيْ
أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
Adapun Abu Jahm dia orangnya suka memukul,
sedangkan Muawiyah orangnya miskin tidak punya harta, nikahlah engkau
dengan Usamah bin Zaid. (HR.Muslim 1480).
4. Memberi nasehat dan peringatan bagi kaum muslimin
Diantara
bentuknya adalah menyebutkan orang-orang yang tidak tsiqah dari para
perowi hadits. Ini dibolehkan menurut kesepakatan bahkan bisa menjadi
wajib. Bentuk yang lain misalnya, engkau melihat orang alim berguru dan
mengambil ilmu dari ahli bid’ah atau orang fasik, dan engkau khawatir
bahaya pemikirannya akan merambah kaum muslimin, maka ketika itu wajib
bagimu menasehatinya dan menjelaskan orang lain tentang keadaan dia.
Perlu diingat tujuannya adalah memberi nasehat bukan hawa nafsu atau
hasad belaka.
Dalil dalam masalah ini apa yang pernah disabdakan Rasulullah dalam haditsnya:
لَيُّ اْلوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَ عُقُوْبَتَهُ
Orang
yang menunda hutang sedangkan ia mampu membayar, hukumannya dikerasi
dan dipenjara. (HR.Abu Dawud 3628, Nasai 4293, Ibnu Majah 2427, Ahmad
4/388, Hakim 4/102, Dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ 1434).
5. Orang yang menampakan kebid’ahan atau kefasikan.
Seperti
orang yang terang-terangan mengajak kepada kebid’ahan, orang yang pamer
minum khamer, atau yang mengambil harta orang lain secara zhalim. Dasar
bolehnya perkara ke lima ini adalah hadits yang berbunyi:
عَنْ
عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: أَنَّ رُجُلاً
اسْتَأْذَنَ عَلىَ النَّبِيِّ فَقَالَ: ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ ابْنُ
الْعَشِيْرَةِ أَوْ بِئْسَ رَجُلُ الْعَشِيْرَةِ. فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ
أَلاَنَ لَهُ الْقَوْلَ. قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ
قُلْتَ الَّذِيْ قُلْتَ, ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ اْلقَوْلَ؟ قَالَ: يَا
عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مَنْ وَدَعَهُ أَوْ تَرَكَهُ الْنَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
Dari
Urwah bin Zubair bahwasanya Aisyah berkata, “Suatu ketika ada seseorang
yang minta izin kepada Rasulullah untuk menemuinya, akhirnya Rasulullah
mengatakan, “Izinkan dia masuk, dia orang yang paling jelek”. Setelah
orang tadi masuk, Rasulullah malah berlaku lembut, dan halus dalam
berbicara kepadanya. Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah bukankah engkau
tadi mengatakan dia orang yang paling jelek! tetapi mengapa engkau
lembut kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Wahai Aisyah orang yang paling
jelek kedudukannya disisi Alloh pada hari kiamat kelak adalah orang yang
dijauhi oleh manusia karena takut akan kejelekannya”. (Bukhari 6054,
Muslim 2591).
Al-Hafizh Al-Isma’ily berkata, “Para imam ahli hadits
mereka memandang untuk menjauhi bid’ah dan perbuatan dosa. Mereka
berpendapat untuk tidak menyakiti dan berbuat ghibah, kecuali kepada
orang yang menampakan kebid’ahan dan menyerukannya, sesungguhnya
membicarakan mereka bukan termasuk ghibah”. (I’tiqad Aimmah Al-Hadits
hal.78, lihat Syarh Ushulus Sunnah oleh Al-Walid bin Muhammad An-Nashr
hal.30)
6.Untuk mengenalkan
Apabila ada orang yang sudah dikenal
dengan gelarnya seperti orang yang buta, yang pincang, dan lain-lain
maka dibolehkan menyebutkan keadaannya jika memang bertujuan untuk
mengenalkan. Apabila tujuannya untuk melecehkan maka haram. Kemudian
perlu diperhatikan pula selagi mungkin untuk mengenalkan dengan ciri
yang lain maka itu lebih utama.
Demikianlah akhir pembahasan ini,
semoga tulisan ini ikhlas karena mencari wajahNya dan bermanfaat bagi
penulis serta kaum muslimin di manapun berada. Amiin. Allohu ‘Alam.