Rabu, 18 April 2012

Panduan Praktis Puasa Ramadhan

Berdasarkan al-Qur’an Dan as-Sunnah as-Shohihah

Oleh Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman

DEFINISI PUASA RAMADHAN

Sebelum mendefiniskan secara keseluruhan makna puasa Ramadhan, sebaiknya kita mengetahui definisi kosa kata-nya satu persatu, sebab seperti dikatakan oleh ar-Rozi: “Tidak mungkin kita memahami definisi sesuatu kecuali setelah mengetahui kosa kata-nya satu persatu”.
Puasa secara bahasa diambil dari bahasa arab –يَصُوْمُ-صَوْمًا وَصِيَامًامصَا yang artinya adalah menahan dari sesuatu. Abu Ubaidah berkata: “Dikatakan bagi setiap orang yang menahan dari sesuatu berupa makan, berbicara, menceritakan aib orang maka dia disebut orang yang berpuasa”. Diantara yang menguatkan definisi diatas adalah firman Alloh ketika menceritakan perihal bunda maryam;

Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. jika kamu melihat seorang manusia, Maka Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Robb yang Maha pemurah, Maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (QS.Maryam: 26).
Maksud kalimat puasa dalam ayat diatas adalah diam tidak berbicara sebagaimana penafsiran sahabat mulia Ibnu Abbas dan lainnya.


Sedangkan Ramadhan diambil dari kalimat رَمَضَ الصَّائِمُ, يَرْمَضُ yaitu apabila orang yang sedang puasa terbakar lambungnya karena sebab kehausan. Yang menguatkan makna ini adalah hadits yang berbunyi;
صَلاَةُ الأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Shalatnya orang-orang awwabiin (yang sering bertaubat kepada Alloh) adalah ketika anak unta merasa kepanasan.
Adapun mengapa dinamakan dengan bulan Ramadhan, ada yang mengatakan bahwa ketika puasa diwajibkan pertama kali bertepatan pada musim panas. Ada lagi yang mengatakan bahwa bulan Romadhon itu membakar dosa dan menghapusnya, yaitu menghapus dosa dengan amal sholih yang dikerjakan pada bulan ini. . Allohu A;lam
Jadi, puasa Ramadhan menurut terminology syariat adalah seorang muslim menahan diri dari makan, minum dan seluruh perkara yang membatalkan puasa dengan niat beribadah kepada Alloh sejak terbit fajar yang kedua hinga terbenamnya matahari bagi orang-orang tertentu dan syarat-syarat khusus.
Ibnu Abdil Barr berkata: “Adapun puasa dalam sudut pandang syariat maknanya adalah menahan dari makan, minum, berhubungan intim dengan isteri pada siang hari apabila orang yang meninggalkan perkara itu niatnya adalah mencari wajah Alloh dan pahalanya. Inilah makna puasa dalam syariat Islam menurut pendapat seluruh ulama ummat ini”.

HAKEKAT PUASA

Al-Hafizh Ibnul Qoyyim al-Jauziyyah berkata: “Orang berpuasa yang sebenarnya adalah orang yang menahan anggota badannya dari segala dosa, lisannya dari dusta, perutnya dari makanan, minuman dan farjinya dari jima’. Bila berbicara, dia tidak mengeluarkan perkataan yang menodai puasanya. Jika berbuat, dia tidak melakukan hal yang dapat merusak puasanya. Sehingga ucapannya yang keluar adalah bermanfaat dan baik. Demikian pula amal perbuatannya, ibarat wewangian yang dicium baunya oleh kawan duduknya. Seperti itu juga orang yang puasa, kawan duduknya mengambil manfaat dan merasa aman dari kedustaan, kemaksiatan, dan kezholimannya. Inilah hakekat puasa sebenarnya, bukan hanya sekedar menahan diri dari makanan dan minuman”.

HIKMAH DAN MANFAAT PUASA

Sesungguhnya syari'at Islam yang mulia ini sangat indah sekali, segala hukum-hukumnya dibangun di atas hikmah dan kemaslahatan, hanya saja kadang kita mengetahuinya dan kadang juga kita tidak mengetahuinya. Karena memang para hamba tidak ada kewajiban untuk mengetahui perincian hikmah Allah, namun cukup bagi mereka untuk hanya mengimani, meilmui secara umum, dan pasrah sepenuhnya, sebab mengetahui perincian hikmah adalah sesuatu yang di luar batas kemampuan akal manusia.

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.(QS. an-Nisa' [4]: 65)
Namun hal itu sama sekali tidak mencegah seorang untuk mengetahui hikmah suatu syari'at, karena hal tersebut memiliki beberapa manfaat, diantaranya adalah:
1. Mengetahui ketinggian dan keindahan syari'at Islam karena semua syariatnya dibangun di atas hikmah.
2. Bisa diqiyaskan (dianalogikan) kepada hal lain yang semakna.
3. Lebih menentramkan seorang hamba dengan hukum tersebut.
4. Penyemangat untuk menjalankan hukum syari'at.
5. Bisa memberikan kepuasan kepada orang lain.
6. Memberikan kekuatan ilmu yang matang.
7. Menampakkan makna salah satu nama Allah yaitu Al-Hakim .

Adapun hikmah dan manfaat puasa adalah sebagai berikut;
1.Melatih jiwa untuk taat kepada Alloh
Jiwa seorang muslim harus dilatih dan dibiasakan untuk mengerjakan ketaatan. Karena jiwa sifatnya seperti anak kecil yang perlu dilatih. Salah satu bentuk pelatihan agar jiwa terbiasa dalam mengerjakan ketaatan adalah dengan puasa. Karena dalam puasa seseorang akan meninggalkan sebagian kenikmatan yang asalnya halal, dari menahan makan, minum, berkumpul dengan isteri, yang semuanya ini ditinggalkan demi mencari ridho dan pahala Alloh. Tentu ini adalah pelatihan yang nyata, tidak ada yang sanggup mengerjakannya kecuali bagi orang yang benar-benar beriman, jiwanya suci dan tulus cintanya untuk taat kepada Alloh. Barangkali inilah yang diisyaratkan dalam sebuah hadits yang berbunyi;
لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ تَعَالَى مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى ، الصِّيَامُ لِى ، وَأَنَا أَجْزِى بِهِ ، وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
Demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh baunya mulut orang yang puasa lebih harum di sisi Alloh dibandingkan dengan minyak misk. Dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena Aku. Seluruh amalan bani adam untuknya, kecuali puasa. Sesungguhnya dia untukku dan Aku yang akan membalasnya.
Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Syiar dan tanda kaum mukminin pada hari kiamat adalah cahaya yang memancar karena bekas wudhu mereka di dunia, sebagai pembeda dengan seluruh ummat lainnya. Dan syiar mereka juga pada hari kiamat dengan puasanya, bau mulut mereka lebih harum disisi Alloh daripada minyak misk, agar mereka terkenal dengan amalan tersebut pada hari perkumpulan, kita memohon kepada Alloh keberkahan pada hari itu”.

2.Menumbuhkan sifat sabar
Puasa adalah jihad melawan hawa nafsu dan melatih kesabaran. Dalam puasa terdapat tiga macam kesabaran; sabar dalam ketaatan, sabar dalam meninggalkan kemaksiatan dan sabar menerima takdir. Alangkah bagusnya yang diucapkan oleh imam Ibnu Rojab tatkala berkata; “Sabar itu ada tiga macam; sabar dalam mengerjakan ketaatan kepada Alloh. Sabar dalam meninggalkan larangan Alloh dan sabar dalam menerima takdir Alloh yang menyakitkan. Semua jenis sabar ini terkumpul dalam ibadah puasa. Karena dalam puasa terdapat sabar dalam mengerjakan ketaatan kepada Alloh, sabar dalam meninggalkan apa yang Alloh haramkan dari kelezatan syahwat, dan sabar untuk menerima apa yang dia dapat berupa rasa sakit dengan kelaparan dan haus, lemasnya badan dan jiwa”.

3.Meredam syahwat
Tidak dipungkiri bahwa setiap insan punya insting untuk menyukai lawan jenis. Naluri yang tertanam pada diri setiap manusia ini harus tersalurkan pada jalur yang sah yaitu pernikahan. Bila belum mampu menikah, maka puasa adalah metode jitu untuk meredam syahwat, inilah obat mujarab yang telah ditunjukkan oleh nabi kita dalam sabdanya;
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah. Karena dengan menikah akan lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu menikah maka hendaklah dia berpuasa, karena hal itu adalah benteng baginya.

4.Mensyukuri nikmat Alloh
Termasuk hikmah puasa adalah mengingatkan kepada seluruh hamba akan besarnya nikmat Alloh. Karena seorang hamba akan menyadari betapa besarnya nikmat kenyang, dan puas dalam makan dan minum ketika dia merasa lapar dan haus. Ketika dia kenyang setelah sebelumnya merasa lapar, atau hilang dahaganya ketika sebelumnya kehausan maka hal ini akan mendorong untuk bersyukur kepada Alloh. Sadarilah hal ini wahai saudaraku, jadikanlah puasamu sebagai media untuk lebih meningkatkan rasa syukur kepada Alloh.

5.Solidaritas antar sesama
Inilah hikmah dari sisi kemasyarakatan. Sesungguhnya merasakan lapar dan haus demi menjalankan perintah agama, akan menumbuhkan solidaritas dan perasaan persamaan dengan orang-orang miskin yang kesehariannya sering merasakan kelaparan dan kehausan. Hal ini akan menumbuhkan sifat peka dan peduli terhadap saudaranya yang kurang mampu. Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: “Puasa akan mengingatkan keberadaan orang-orang yang kelaparan dari kalangan orang-orang miskin”.
Ibnu Humam berkata; “Sesungguhnya tatkala orang yang puasa itu merasakan sakitnya rasa lapar pada sebagian waktu, maka hal itu akan mengingatkannya pada seluruh keadaan dan waktu. Yang akan membawanya bersegera untuk peduli kepada orang yang kurang mampu”.

6.Sebab meraih derajat takwa
Puasa adalah sebab untuk meraih derajat takwa. Alloh berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS.al-Baqoroh: 183).
Karena sesunguhnya orang yang puasa itu diperintahkan untuk mengerjakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Dengan demikian, bila orang yang sedang puasa terbetik di dalam hatinya untuk mengerjakan maksiat, dia akan menahan dan meninggalkannya.
Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: “Puasa mempunyai pengaruh yang sangat menakjubkan dalam menjaga anggota tubuh lahiriah dan kekuatan batiniah. Menjaga dari segala campuran yang membahayakan yang apabila dibiarkan akan merusak seluruh tubuh. Membersihkan dari dzat-dzat yang merusak kesehatan. Puasa dapat menjaga kesehatan hati dan anggota badan. Mengembalikan dari kerusakan syahwat, dia adalah sarana yang paling besar dalam mewujudkan ketakwaan kepada Alloh.

7.Menjernihkan hati dan pikiran
Ini termasuk hikmah yang jarang diketahui manusia. Dengan meninggalkan berbagai kenikmatan dan keinginan jiwa ketika berpuasa, akan membuat pikiran dan hati menjadi jernih dan bersih. Hati dan pikirannya akan terpusat untuk dzikir dan beribadah. Karena banyak makan dan minum akan membuat hati menjadi lalai dan sibuk, bahkan tidak mustahil membuat hati menjadi keras dan gersang.
Ibrohim bin Adham berkata: “Barangsiapa yang mampu menahan perutnya, maka dia akan mampu menjaga agamanya. Barangsiapa yang dapat menguasai rasa lapar, dia akan meraih akhlak yang mulia. Karena maksiat kepada Alloh sangat jauh bagi orang yang lapar dan sangat dekat bagi yang kenyang. Kenyang itu dapat mematikan hati, karena kenyang dia akan banyak senang, gembira dan tertawa”.

8.Sehat dengan puasa
Hal ini telah diakui dalam dunia kedokteran. Bahwa puasa dapat menyehatkan tubuh manusia. Menyembuhkan dari berbagai penyakit ganas. Dengan sedikit makan, anggota pencernaan dapat istirahat, cairan-cairan dan kotoran yang membahayakan dapat keluar dan hilang. Semua ini adalah hikmah dan keutamaan dari Alloh. Tidak ada satupun perintah Alloh kecuali di dalamnya terdapat kebaikan bagi para hambanya.

Inilah sebagian hikmah yang dapat kita ketahui. Mungkin masih banyak lagi hikmah-hikmah lainnya yang belum kita ketahui.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa manfaat puasa ini tidak akan tercapai kecuali bagi orang yang berpuasa secara sempurna dari segala yang diharamkan Alloh. Puasa dari makan, minum, berhubungan intim dengan isteri, puasa dari mendengar yang haram, melihat yang harom, ucapan yang harom dan usaha yang harom. Dia senantiasa menjaga waktunya dan selalu memanfaatkan kesempatan bulan puasa dengan ketaatan kepada Robbnya. Maka orang semacam inilah yang dapat meraih manfaat dari ibadah puasanya.

KEUTAMAAN PUASA RAMADHAN

Puasa Ramadhan mempunyai kedudukan yang sangat agung. Ada keutamaan dan ganjaran yang sangat besar.
Imam al-Izz bin Abdus Salam berkata: “Keutamaan waktu dan tempat ada dua bentuk; Bentuk pertama adalah bersifat duniawi dan bentuk kedua adalah bersifat agama. Keutamaan yang bersifat agama adalah kembali pada kemurahan Alloh untuk para hambanya dengan cara melebihkan pahala bagi yang beramal. Seperti keutamaan puasa Ramadhon atas seluruh puasa pada bulan yang lain, demikian pula seperti hari ‘Asyuro. Keutamaan ini kembali pada kemurahan dan kebaikan Alloh bagi para hambanya di dalam waktu dan tempat tersebut”. Diantara keutamaan puasa Romadhan adalah:

1.Termasuk Rukun Islam
Islam itu dibangun di atas lima perkara, tidak sempurna keislaman seseorang kecuali dengan mengerjakan lima perkara tersebut. Puasa Ramadhan termasuk rukun Islam. Berdasarkan hadits;
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
Dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhumaa, ia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, 'Islam itu dibangun di atas lima perkara: Persaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.

2.Menghapus Dosa Yang Telah Lalu
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda;
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang puasa Ramadhan karena keimanan dan mencari pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Perhatikan hadits ini wahai saudaraku, bahwa ampunan terhadap dosa yang telah lalu hanya untuk orang-orang yang puasanya karena keimanan dan mencari pahala! Karena iman dan mencari pahala adalah barometer dan pembeda apakah puasanya itu karena kebiasaan dan ikut-ikutan ataukah benar-benar niatnya ibadah!!. Barangsiapa yang niat puasanya bukan karena iman dan mencari pahala maka dia tidak termasuk dalam janji hadits di atas.

3.Merupakan Sebab Masuk Surga
Berdasarkan hadits:
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللهِ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ اْلأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسُولَ اللهِ.فَقَالَ: أَرَأَيْتَ إِذَا صَلَّيْتُ الْمَكْتُوبَاتِ، وَصُمْتُ رَمَضَانَ، وَأَحْلَلْتُ الْحَلاَلَ، وَحَرَّمْتُ الْحَرَامَ، وَلَمْ أَزِدْ عَلَى ذَلِكَ شَيْئًا، أَأَدْخُلُ الْجَنَّةَ؟ قَالَ: نَعَمْ
Dari Abu ‘Abdillah Jabir bin ‘Abdillah al-Anshari Radhiyallaahu ‘anhumaa, bahwa seseorang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, "Ba-gaimana pendapatmu jika aku melaksanakan shalat-shalat fardhu, berpuasa Ramadhan, menghalalkan yang halal, mengharamkan yang haram, dan aku ti-dak menambah sedikit pun atas hal itu; apakah aku akan masuk Surga?" Beliau menjawab, Ya.
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang mencukupkan untuk mengerjakan perkara yang wajib dan meninggalkan yang haram maka dia akan masuk surga. Akan tetapi barangsiapa yang meninggalkan perkara-perkara yang sunnah dan tidak mengejakannya sedikitpun, maka dia telah rugi besar, tidak mendapat pahala yang banyak, orang yang semacam ini kurang agamanya dan cacat kepribadiannya.

4.Doanya Terkabulkan
Alloh berfirman:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS.al-Baqoroh: 186).
Rasulullah bersabda;
إِنَّ لِلَّهِ عُتَقَاءَ فِى كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لِكُلِّ عَبْدٍ مِنْهُمْ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ
Sesungguhnya Alloh mempunyai orang-orang yang akan dibebaskan (dari neraka) setiap hari dan malam. Setiap hamba dari mereka punya doa yang mustajab.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Yaitu pada bulan Ramadhan”.
Ini merupakan keutamaan yang besar bagi bulan Romadhan dan orang yang berpuasa, menunjukkan keutamaan doa dan orang yang berdoa.

5.Pahala Yang Berlipat Ganda Tanpa Batas
Berdasarkan hadits
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ, قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ
Seluruh amalan bani Adam akan dilipat gandakan, satu kebaikan akan dilipatgandakan sepuluh kebaikan semisalnya hingga tujuh ratus kali lipat. Alloh berfirman: Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untukku, dan aku yang akan membalasnya.
Al-Hafizh Ibnu Rojab mengatakan: “Tatkala puasa itu sendiri pahalanya dilipatgandakan daripada amalan-amalan yang lain, maka puasa Ramadhan pahalanya akan berlipat ganda dibandingkan dengan puasa-puasa yang lainnya. Sebabnya karena kemuliaan waktu, karena puasa ini Alloh wajibkan bagi seluruh hamba, dan karena puasa ini salah satu rukun Islam yang Islam itu dibangun di atasnya”.
Bahkan pahala yang mereka dapat tidak terbatas, sebagaimana konteks hadits diatas, Alloh berkehendak untuk melipat gandakan pahala puasa sesuai keinginannya. Alloh berfirman;

Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (QS.az-Zumar: 10).
Imam al-Auza’I mengatakan: “Tidak ada timbangan dan takaran untuk pahala orang yang puasa, akan tetapi mereka akan dibuatkan kamar khusus tersendiri”.

HUKUM PUASA RAMADHAN

A.Sejarah Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan mengalami tiga fase sebelum akhirnya diwajibkan, lebih jelasnya sebagai berikut ;
Pertama: Diwajibkan dengan diberi pilihan
Maksudnya, puasa Ramadhan saat pertama kali diwajibkan disertai pilihan apakah memilih puasa atau memberi makan satu orang miskin setiap harinya, akan tetapi anjuran puasa lebih diutamakan. Berdasarkan firman Alloh yang berbunyi;
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. Yaitu dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS.al-Baqoroh: 183-184).
Salamah bin Akwa’ berkata;
كُنَّا فِى رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِينٍ حَتَّى أُنْزِلَتْ هَذِهِ الآيَةُ (فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه)
Kami ketika mengalami Ramadhan pada zaman Rasulullah, barangsiapa yang ingin puasa maka boleh berpuasa, dan barangsiapa yang ingin berbuka maka dia memberi makan seorang miskin, hingga turun ayat Alloh yang berbunyi; barangsiapa yang melihat bulan maka hendaknya dia berpuasa.
Kedua: Wajib puasa Ramadhan, akan tetapi barangsiapa yang tidur sebelum matahari tenggelam maka dia tidak boleh berbuka hingga hari berikutnya.
Ketiga: Wajibnya puasa Ramadhan mulai terbit fajar yang kedua hingga tenggelamnya matahari, apabila matahari telah terbenam maka orang yang puasa boleh berbuka. fase terakhir ini menghapus fase sebelumnya dan tetap hingga hari kiamat.

B.Hukum Puasa Ramadhan
Tidak ada perselisihan bahwa puasa Ramadhan hukumnya wajib . Berdasarkan al-Qur’an, as-sunnah dan kesepakatan para ulama. Adapun al-Qur’an, Alloh befirman;

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS.al-Baqoroh: 183).
Sedangkan dalil dari as-Sunnah diantaranya hadits Abdullah bin Umar bahwasanya Rasulullah bersabda;
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
Dari Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallaahu ‘anhumaa, ia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, 'Islam itu dibangun di atas lima perkara: Persaksian bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayar zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa di bulan Ramadhan.
Sedangkan ijma, kaum muslimin telah sepakat bahwa puasa Ramadhan hukumnya wajib. Wajib dikerjakan bagi seluruh kaum muslimin yang mukallaf, tidak ada yang mengingkari kewajiban ini kecuali dia dihukumi kafir. Karena kewajibannya telah paten dan mapan dalam agama ini. Orang yang menginkari atau meragukan, maka berarti dia telah mendustakan Alloh dan Rasulnya. Dalam masalah ini tidak ada udzur, kecuali orang yang jahil baru masuk Islam sehingga belum tahu kewajibannya, maka dia perlu diajari.

C.Kapan Puasa Ramadhan Diwajibkan?
Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: “Tatkala menundukkan jiwa dari perkara yang disenangi termasuk perkara yang sulit dan berat, maka kewajiban puasa Ramadhan tertunda hingga setengah perjalanan Islam setelah hijrah. Ketika jiwa manusia sudah mapan terhadap perkara tauhid dan shalat, serta perintah-perintah dalam al-Qur’an, maka kewajiban puasa Ramadhan mulai diberlakukan secara bertahap. Kewajiban puasa Ramadhan jatuh pada tahun kedua hijriah, tatkala Rasulullah wafat, beliau sudah mengalami sembilan kali puasa Ramadhan.

METODE PENETAPAN AWAL RAMADHAN

A.Berita Gembira Dengan Tibanya Bulan Romadhan
Adalah Rasulullah memberi kabar gembira kepada para sahabatnya dengan tibanya bulan Ramadhan. Dari Abu Hurairoh bahwasanya Nabi bersabda;
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
Sungguh telah datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Alloh mewajibkan puasa atas kalian di dalamnya. Pada bulan ini dibuka pintu-pintu surga, ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu setan-setan. Di dalam bulan ini ada sebuah malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang tercegah dari kebaikannya, maka sungguh dia tercegah untuk mendapatkannya.
Al-Hafizh Ibnu Rojab berkata: “Sebagian ulama mengatakan; hadits ini adalah dalil bolehnya mengucapkan selamat antara sebagian manusia kepada yang lain berhubungan dengan datangnya bulan Ramadhan. Bagaimana mungkin seorang mukmin tidak bergembira dengan dibukanya pintu surga?!, bagaimana tidak bergembira orang yang berbuat dosa dengan ditutupnya pintu neraka?! Bagaimana mungkin orang yang berakal tidak bergembira dengan suatu waktu yang saat itu setan dibelenggu, waktu mana yang bisa menyerupai waktu semacam ini?”.

B.Penetapan Awal Romadhan.
Awal bulan Romadhon ditentukan dengan dua cara ;
Pertama; Terlihatnya hilal bulan Romadhan sekalipun yang melihatnya hanya satu orang yang adil. Berdasarkan haditsnya Ibnu Umar, dia berkata;
تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنِّى رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ.
Orang-orang sedang mengamati hilal. Aku kabari Rasulullah bahwa aku melihatnya. Beliau kemudian berpuasa dan menyuruh orang-orang agar ikut berpuasa bersama beliau.

Kedua: Jika hilal tidak terlihat, karena suatu sebab seperti mendung, maka bulan sya’ban digenapkan 30 hari. Berdasarkan hadits Abu Hurairoh, bahwasanya Rosulullah bersabda;
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُبِّىَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihat hilal. Jika awal bulan samar bagi kalian, maka genapkanlah bulan sya’ban hingga tiga puluh hari.
Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Para ahli ilmu telah menegaskan untuk beramal dengan kandungan hadits ini. Mereka mengatakan; Persaksian satu orang bisa diterima untuk penentuan awal puasa. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mubarak, Syafi’I, Ahmad, dan orang-orang kuffah. Dan tidak ada perselisihan antara ahli ilmu bahwa jika untuk berbuka (berhari raya) tidak diterima kecuali persaksian dari dua orang”.

Dari penjelasan diatas dapat kita pahami bahwa metode dalam penentuan awal puasa Ramadhan adalah dengan terlihatnya hilal. Jika hilal tidak terlihat, maka dengan menyempurnakan bilangan bulan sya’ban menjadi 30 hari. Inilah cara mudah dalam penentuan awal Romadhan yang selayaknya diamalkan oleh seluruh kaum muslimin. Barangsiapa yang menyangka bahwa dia mengetahui masuknya awal bulan Romadhan dengan cara selain yang telah ditetapkan oleh agama, sungguh dia telah bermaksiat kepada Alloh dan Rosulnya. Seperti orang yang mengatakan wajibnya menggunakan metode hisab dalam penentuan awal Romadhan, atau wajib berpegang dengan kalender. Perkara semacam ini tidak bisa diketahui oleh setiap orang, apalagi metode hisab mengandung kemungkinan salah. Cara dan metode semacam ini memberatkan ummat padahal Alloh mengatakan;

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (QS.al-Hajj: 78).
Maka, yang wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk mencukupkan diri dengan apa yang telah disyariatkan oleh Alloh dan Rosulnya.


Catatan:
Barangsiapa yang menyaksikan hilal seorang diri, maka dia tidak boleh berpuasa kecuali berpuasa bersama manusia umumnya. Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasulullah bersabda;
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Hari puasa adalah ketika kalian semua berpuasa. Hari raya idul fitri adalah ketika kalian semua berhari raya idul fitri. Dan hari raya idul adha, adalah ketika kalian semua berhari raya idul adha.
Imam at-Tirmidzi mengatakan; “Sebagian ahli ilmu menafsiri hadits ini, bahwa puasa dan berhari raya itu bersama jama’ah dan umumnya manusia”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Barangsiapa yang melihat hilal Romadhan seorang diri dan persaksiannya tertolak, maka tidak wajib baginya puasa dan orang lainpun demikian”.

YANG WAJIB BERPUASA

Para ulama telah sepakat bahwa yang wajib berpuasa adalah seorang muslim yang berakal, baligh, sehat dan menetap. Adapun wanita, disyaratkan dalam kondisi suci dari haidh dan nifas.

Maka orang yang kafir tidak wajib puasa dan tidak sah puasanya. Alloh berfirman;

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya. (QS.at-Taubah: 54).
Sedangkan dalil bahwa puasa tidak wajib bagi orang yang tidak berakal dan belum baligh adalah hadits yang berbunyi;
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّغِيرِ حَتَّى يَكْبَرَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِلَ أَوْ يُفِيقَ
Pena itu diangkat dari tiga golongan manusia; orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ia baligh, dan dari orang gila hingga kembali normal.
Adapun dalil bahwa puasa tidak wajib bagi yang sakit dan musafir, adalah firman Alloh yang berbunyi;

Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS.al-Baqoroh: 184).
Sedangkan untuk kaum wanita, maka tidak boleh berpuasa dalam keadaan haidh atau nifas. Rasulullah bersabda;
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ ، وَلَمْ تَصُمْ؟ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِينِهَا
Bukankah wanita jika sedang haidh dia tidak shalat dan tidak puasa? Itulah bentuk kurang agamanya.
Aisyah berkata: “Kami mengalami haidh pada zaman Rasululloh, maka kami diperintah untuk mengqodho puasa dan tidak diperintah untuk mengqodho shalat”.

RUKUN PUASA

Rukun puasa ada dua. Tidak sah puasa seseorang kecuali dengan dua perkara ini , yaitu;
1.Niat
Dasarnya adalah hadits Hafshoh Ummul Mukminin bahwasanya Rosululloh bersabda;
مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
"Barangsiapa yang tidak meniatkan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya".
Hadits ini adalah dalil bahwa puasa harus dengan niat. Tidak sah puasa seorang muslim kecuali dengan niat. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Para ulama telah sepakat bahwa ibadah yang maksudnya adalah ibadah itu sendiri seperti shalat, puasa, dan haji maka tidak sah melainkan dengan niat”.

Dan niat tempatnya adalah di dalam hati, tidak harus diucapkan tanpa ada perselisihan diantara ulama. Maka barangsiapa yang terlintas bahwa dia akan puasa besok, sungguh dia sudah niat. Adapun waktunya, sebagaimana hadits diatas adalah sejak malam hari. Barangsiapa yang niat puasa, pada bagian malam manapun, yang penting sebelum terbitnya fajar kedua maka puasanya sah. Keharusan meniatkan puasa sebelum fajar adalah untuk puasa yang wajib, seperti puasa Romadhan, qodho Romadhan, atau puasa nadzar. Adapun untuk puasa sunnah boleh meniatkannya sekalipun sudah pagi hari.

Apakah niatnya harus setiap hari?
Masalah ini diperselisihkan oleh para ulama menjadi dua pendapat;
Pendapat pertama: Cukup bagi orang yang puasa untuk niat sekali saja pada awal hari Romadhan dan niatnya mencukupi selama sebulan penuh. Selagi puasanya tidak terputus dengan safar atau sakit. Inilah pendapat yang dipilih oleh imam Malik, Ishaq bin Rohawaih dan salah satu riwayat dari imam Ahmad , karena puasa Ramadhan adalah satu kesatuan ibadah yang tidak terpisahkan.
Pendapat kedua: Wajib bagi yang berpuasa untuk niat setiap hari. Karena setiap hari adalah ibadah puasa tersendiri yang harus niat. Inilah pendapatnya Abu Hanifah, Syafi’I dan Ahmad menurut pendapat yang masyhur.
Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat pertama. Allohu A’lam.

2.Menahan diri dari segala perkara yang membatalkan puasa, mulai terbit fajar hingga matahari tenggelam.
Berdasarkan firman Alloh yang berbunyi;

Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS.al-Baqoroh: 187).
Imam as-Suyuthi mengatakan: “Ayat ini adalah dalil bolehnya berkumpul dengan isteri, makan, minum hingga jelas fajar, dan hal itu diharamkan bila siang hari”.

GOLONGAN YANG DIBERI DISPENSASI

Alloh mewajibkan puasa Ramadhan dan Dia memberi kemudahan pula. Alloh tidak membebani kecuali sesuai kemampuan para hambanya. Kemudahan ini adalah keutamaan dari Alloh. FirmanNya;

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (QS.al-Baqarah 185).

Siapa sajakah yang diberi keringanan untuk tidak berpuasa;
1.Musafir
Orang yang musafir (bepergian jauh) ada tiga keadaan:
Pertama: Jika berpuasa sangat memberatkan, bahkan khawatir membahayakan dirinya, maka haram baginya berpuasa. Tatkala fathu makkah, para sahabat merasakan sangat berat dalam berpuasa. Akhirnya rasulullah berbuka, akan tetapi ada sebagian sahabat yang tetap memaksakan puasa. Maka Rasulullohpun berkata:
أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ
Mereka itu orang yang bermaksiat, mereka itu orang yang bermaksiat".

Kedua: Jika berpuasa tidak terlalu memberatkannya, maka dibenci puasa dalam keadaan seperti ini, karena dia berpaling dari keringanan Alloh, yaitu dengan tetap berpuasa padahal dia merasa berat walaupun tidak sangat.

Ketiga: Puasa tidak memberatkannya. Maka hendaklah dia mengerjakan yang mudah, boleh puasa atau berbuka. Karena Alloh berfirman:

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(QS.al-Baqarah 185).

Faedah:
Apabila seorang musafir tidak merasa berat ketika puasa, maka boleh baginya berbuka atau tetap berpuasa, namun manakah yang lebih afdhol antara keduanya? berbuka atau berpuasa?
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin mengatakan: "Apabila antara puasa dan berbukanya sama-sama mudah, maka yang lebih utama adalah untuk berpuasa, hal itu ditinjau dari empat segi:
Pertama: Mencontoh perbuatan Rasulullah yang tetap berpuasa. Berdasarkan hadits Abu Darda' dia berkata:
خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى شَهْرِ رَمَضَانَ فِى حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ
Kami pernah berpergian bersama nabi pada bulan Romadhan ketika hari sangat panas, sampai ada seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas kepala karena saking panasnya hari itu, diantara kami tidak ada yang puasa kecuali Rasulullah dan Abdullah bin Rawahah.
Kedua: Hal itu lebih cepat melepaskan diri dari tanggungan.
Ketiga: Lebih ringan bagi seorang hamba, karena berpuasa bersama manusia lebih ringan, dan apa yang lebih ringan maka lebih utama.
Keempat: Puasanya bertepatan dengan bulan Ramadhan, dan bulan Ramadhan lebih utama daripada bulan lainnya.
Oleh karena alasan inilah kami katakan bahwa puasa lebih utama.

2.Orang Yang Sakit
Orang yang sakit terbagi menjadi dua golongan;
Pertama; Orang yang sakitnya terus menerus, berkepanjangan, tidak bisa diharapkan sembuh dengan segera, seperti sakit kanker dan lainnya, maka dia tidak wajib puasa. Karena keadaan sakit seperti ini tidak bisa diharapkan untuk puasa. Orang yang keadaan sakitnya seperti ini maka hendaknya ia memberi makan satu orang miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.
Kedua; Orang yang sakitnya bisa diharapkan sembuh, seperti sakit panas dan sebagainya. Orang yang sakit seperti ini tidak lepas dari tiga keadaan;
1. Puasa tidak memberatkannya dan tidak membahayakan. Wajib baginya untuk puasa, karena dia tidak punya udzur.
2. Puasa memberatkannya akan tetapi tidak membahayakan dirinya, dalam keadaan seperti ini maka dibenci untuk puasa. Karena apabila puasa berarti dia berpaling dari keringanan Alloh, padahal dirinya merasa berat.
3. Puasa membahayakan dirinya, maka haram baginya untuk puasa. Karena apabila puasa berarti dia mendatangkan bahaya bagi dirinya sendiri. Alloh berfirman;

Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa: 29)
Untuk mengetahui bahaya atau tidaknya puasa bagi yang sakit, bisa dengan perasaan dirinya kalau puasa akan berbahaya, atau atas diagnosa dokter yang terpercaya. Maka kapan saja seorang yang sakit tidak puasa dan termasuk golongan ini, hendaklah dia mengganti puasa yang di tinggalkan apabila dia sudah sembuh dan sehat. Apabila dia meninggal dunia sebelum dia sembuh maka gugurlah utang puasanya. Karena yang wajib baginya adalah untuk mengqadha puasa di hari yang lain yang dia sudah mampu melakukannya, sedangkan dia tidak mendapati waktu tersebut.

3.Wanita Hamil Dan Menyusui
Wanita hamil dan menyusui ada tiga keadaan:
Pertama: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya saja, maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqodho (mengganti) di hari yang lain kapan saja sanggupnya menurut pendapat mayoritas ahli ilmu, karena dia seperti orang yang sakit yang khawatir terhadap kesehatan dirinya. Alloh berfirman:

Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. (QS.al-Baqarah: 184).
Imam Ibnu Qudamah mengatakan, "Walhasil, bahwa wanita yang hamil dan menyusui, apabila khawatir terhadap dirinya, maka boleh berbuka dan wajib mengqodho saja. Kami tidak mengetahui ada perselisihan diantara ahli ilmu dalam masalah ini, karena keduanya seperti orang sakit yang takut akan kesehatan dirinya”.

Kedua: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya dan anaknya, maka boleh baginya berbuka dan wajib mengqodho seperti keadaan pertama.
Imam an-Nawawi mengatakan: "Para sahabat kami mengatakan: "Orang yang hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir dengan puasanya dapat membahayakan dirinya maka dia berbuka dan mengqodho, tidak ada fidyah karena dia seperti orang yang sakit, dan semua ini tidak ada perselisihan. Apabila orang yang hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya membahayakan dirinya dan anaknya demikian juga dia berbuka dan mengqodho tanpa ada perselisihan”.

Ketiga: Apabila wanita hamil dan menyusui khawatir dengan puasanya akan membahayakan kesehatan janin atau anaknya saja, tidak terhadap dirinya, maka dalam masalah ini terjadi silang pendapat diantara ulama hingga terpolar sampai enam pendapat. Yang lebih mendekati kebenaran dalam masalah ini adalah bahwa wanita hamil dan menyusui apabila dengan puasanya khawatir membahayakan kesehatan janin atau anaknya saja, maka dia boleh berbuka dan wajib mengqodho serta membayar fidyah. Wajib mengqodho menurut pendapat kebanyakan ulama, karena keduanya mampu untuk mengqodho, dan tidak ada dalam syariat ini menggugurkan qodho bagi orang yang mampu mengerjakannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar bahwa wanita hamil dan menyusui-pada keadaan ketiga ini- wajib mengqodho pada waktu dia mampu.
Adapun fidyah karena mereka termasuk keumuman ayat

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. (QS.al-Baqoroh 184).
Berdasarkan zhohir ayat ini keduanya wajib membayar fidyah. Yang menguatkan hal ini juga perkataan Ibnu Abbas tatkala mengatakan: "Adalah keringanan ayat ini bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta yang berat berpuasa, bagi mereka untuk berbuka dan memberi makan seorang miskin. Demikian pula wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir-Abu Dawud berkata: "Yaitu khawatir terhadap kesehatan janin dan anaknya saja"- mereka berbuka dan memberi makan seorang miskin".
Ibnu Umar pernah ditanya tentang wanita hamil yang khawatir terhadap anaknya? beliau menjawab: "Hendaklah berbuka dan memberi makan seorang miskin setiap hari yang ditinggalkan".
Ibnu Qudamah mengatakan: "Tidak diketahui ada yang menyelisihi keduanya dari kalangan sahabat".
Pendapat ini lebih sesuai dengan kaidah syar’i . Inilah yang dipilih oleh Hanabilah, dan yang masyhur dari kalangan as-Syafi'iyyah. Diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas, Atho bin Abi Robah dan Mujahid. Disetujui pula oleh DR.Shalih al-Fauzan . Wallohu A'lam.
Faedah:
Dalam sebuah Muktamar kedokteran yang digelar di Kairo pada bulan Muharram 1406 H dengan tema "Sebagian perubahan kimiawi yang bisa ditimbulkan dari puasanya wanita hamil dan menyusui" demi menjawab pertanyaan yang kerap muncul apakah puasa berpengaruh terhadap wanita yang hamil dan menyusui. Setelah melalui penelitian para dokter ahli disimpulkan bahwa tidak ada bahaya bagi wanita hamil dan menyusui untuk berpuasa di bulan Ramadhan.

YANG MEMBATALKAN PUASA

A.Pembatal Puasa
Para ulama telah sepakat bahwasanya wajib bagi orang yang sedang puasa untuk menahan dirinya dari makan, minum dan jima’(bersetubuh dengan isteri). Kemudian para ulama berselisih dalam beberapa permasalahan, diantara permasalahan itu ada yang bersandar dengan dalil yang jelas dan ada pula yang tidak ada dalilnya sama sekali.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: “Telah diketahui bersama bahwa dalil dan ijma’ menetapkan bahwa makan, minum, jima’ dan haidh membatalkan puasa”.
Berikut ini pembatal-pembatal puasa;

1.Jima' (bersetubuh)
Perkara ini sangat jelas, bahkan bersetubuh termasuk pembatal puasa yang paling besar dosanya. Barangsiapa yang bersetubuh pada siang hari Romadhan tanpa ada alasan, sungguh puasanya telah batal. Alloh berfirman;

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS.al-Baqoroh: 187).
Abu Hurairoh berkata: “Tatkala kami sedang duduk-duduk di sekitar Rasulullah, datanglah seorang laki-laki. Lalu dia berkata: “Wahai Rasulullah celakalah saya”. Beliau bertanya: Ada apa denganmu? Dia menjawab: Saya telah bersetubuh dengan isteri saya, padahal saya sedang puasa. Rasulullah lantas bertanya; Apakah engkau mempunyai seorang budak yang dapat engkau bebaskan? Dia menajawab: Tidak!. Rasulullah kembali bertanya; Apakah engkau mampu berpuasa dua bulan berturut-turut? Dia menjawab Tidak!. Lalu Rasulullah diam sejenak. Tiba-tiba Rosulullah dibawakan sekeranjang korma. Beliau bertanya; Mana yang tadi bertanya? Dia menjawab; Saya. Beliau berkata; Ambillah sekeranjang korma ini dan bersedekahlah dengannya!. Laki-laki tadi malah berkata; Apakah kepada orang yang lebih miskin dari saya wahai Rosulullah? Demi Alloh, tidak ada keluarga di daerah ini yang lebih miskin daripada saya!, Rosulullah akhirnya tertawa hingga gigi gerahamnya terlihat. Lalu beliau bersabda; Berikanlah korma ini kepada keluargamu!.
Imam Ibnu Mundzir berkata: “Para ulama tidak berselisih bahwa Alloh mengharamkan bagi orang yang berpuasa ketika siang hari dari perkara; jima, makan dan minum”.

Ketahuilah, berdasarkan dalil-dalil diatas bahwa orang bersetubuh dengan isterinya pada siang hari bulan Romadhan, terkena empat hukum ;
1.Puasanya batal
2.Mendapat dosa
3.Wajib membayar kafarot dengan urutan sebagai berikut
Pertama; Membebaskan budak.
Kedua; Bila tidak mendapati budak maka wajib berpuasa dua bulan berturut-turut.
Ketiga: Bila tidak mampu puasa dua bulan berturut-turut maka memberi makan enam puluh orang miskin.
Wajibnya membayar kafarot khusus untuk puasa Romadhan saja, apabila bersetubuh pada saat puasa qodho Romadhan atau yang lainnya maka puasanya batal dan tidak ada kafarot.
4.Wajib mengqodho puasa menurut pendapat mayoritas ahli ilmu, karena orang yang bersetubuh telah merusak satu hari Romadhan, maka wajib baginya untuk menggantinya pada hari yang lain, sebagaimana jika dia batal puasanya karena makan dan minum.
Sebagian ulama yang lain seperti imam Ibnu Hazm dan lainnya berpendapat bahwa tidak ada qodho bagi yang bersetubuh pada siang hari bulan Romadhan. Karena nabi tidak memerintahkan laki-laki tadi untuk mengganti puasanya. Adapun riwayat yang mengatakan maka berpuasalah sebagai ganti hari yang batal adalah riwayat yang syadz (ganjil) tidak bisa dijadikan dalil. Dan pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat pertama, karena tidak kita ragukan bahwa mengganti puasa adalah lebih berhati-hati dan lebih melepaskan tanggungan. Allohu A’lam.

Apakah isteri wajib membayar kafaroh?
Jika seorang isteri memenuhi ajakan suaminya untuk bersetubuh apakah dia juga wajib membayar kafaroh sebagaimana suaminya? Ada dua pendapat dalam masalah ini;
Pertama: Tidak wajib membayar kafaroh, karena dalam konteks hadits diatas tidak disebutkan bahwa isteri wajib membayar kafaroh. Ini adalah pendapat dari kalangan Safi’iyyah, Dawud adz-Zhohiri dan salah satu riwayat dari imam Ahmad. Pendapat ini dikuatkan oleh imam Nawawi dan imam Ibnu Qudamah condong mengikuti pendapat ini.
Kedua: Wajib bagi seorang isteri membayar kafarot jika menyetujui ajakan suaminya. Adapun jika dia dipaksa tanpa keinginannya, maka tidak ada kafaroh. Ini adalah pendapatnya imam Malik, salah satu riwayat dari imam Ahmad dan Imam Syafi’i. Pendapat inilah yang paling kuat menurut kami, yaitu apabila seorang wanita menuruti ajakan suaminya untuk bersetubuh siang hari Romadhan maka wajib baginya untuk membayar kafarot sebagaimana suaminya, jika dia dipaksa maka tidak ada kafaroh. Wallohu A’lam.

Bagaimana jika bersetubuhnya karena lupa?
Hukum diatas tidak berlaku bagi yang bersetubuh pada siang hari bulan Romadhan karena lupa atau karena tidak tahu hukumnya. Puasanya tidak batal dan tidak terkena kafarot.
Imam Bukhari berkata; “Hasan al-Bashri dan Mujahid mengatakan: Apabila bersetubuh karena lupa, maka tidak ada dosa apapun”.
Imam as-Syaukani berkata: “Bersetubuh, tidak ada perselisihan bahwa hal itu membatalkan puasa jika yang mengerjakannya secara sengaja. Adapun bila yang mengerjakannya karena lupa, maka sebagian ahli ilmu menghukumi sama seperti makan dan minum karena lupa”.

2.Makan Dan Minum Dengan Sengaja
Barangsiapa yang makan dan minum secara sengaja dan dalam keadaan ingat bahwa ia sedang puasa, maka puasanya batal. Alloh berfirman;

Dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS.al-Baqoroh: 187).
Para ulama telah sepakat bahwa makan dan minum membatalkan puasa.
Adapun jika makan dan minumnya karena lupa, maka puasanya sah, tidak kurang sedikitpun, tidak ada dosa, tidak ada qodho dan tidak ada kafarot. Berdasarkan hadits Abu Hurairoh bahwasanya Rosulullah bersabda;
مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهْوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
Barangsiapa yang lupa bahwa dirinya sedang puasa kemudian makan dan minum, maka hendaknya dia menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya Alloh telah memberinya makan dan minum.
Kemudian bagi yang melihat orang yang sedang puasa makan dan minum karena lupa, maka wajib untuk megingatkan orang tersebut. Walhasil, apabila engkau melihat saudaramu mengerjakan perbuatan yang tidak halal baginya, maka wajib bagimu untuk mengingatkan dia, karena lupa dan salah itu sering terjadi.

3.Muntah dengan sengaja
Muntah dengan sengaja membatalkan puasa. Sedangkan muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan puasa, tetap sah, tidak ada qodho dan kafarot. Dari Abu Hurairoh bahwasanya Rasululloh bersabda;
مَنْ ذَرَعَهُ قَىْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ
Barangsiapa yang muntah sedangkan ia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho baginya. Dan barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka hendaklah ia mengganti puasanya.
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang puasa bila muntah dengan sengaja maka puasanya batal. Inilah pendapat mayoritas ulama. Adapun jika muntahnya tidak sengaja, keluar tanpa kehendaknya, maka puasanya sah, tidak ada qodho baginya.
Imam al-Khottobi mengatakan: “Saya tidak mengetahui ada perselisihan dikalangan ahli ilmu dalam masalah ini”.
Ketahuilah, apabila muntah dengan sengaja maka puasanya batal, baik muntahnya hanya sedikit atau banyak. Sama saja muntahnya karena sebab memasukkan jarinya ke rongga mulut, menekan-nekan perut atau dengan sengaja mencium bau yang tidak enak atau sengaja melihat sesuatu yang membuat muntah maka puasanya batal.
Imam Ibnu Qudamah berkata: “Tidak ada perbedaan baik muntahnya berupa makanan, sesuatu yang pahit, lendir, darah atau selainnya, karena semua itu masuk dalam keumuman hadits. Allohu A’lam”.

4.Haidh dan Nifas
Barangsiapa yang haidh atau nifas walaupun hanya sedetik dari akhir siang hari atau awalnya, maka puasanya batal, dan dia wajib mengganti hari tersebut dengan puasa pada hari yang lain berdasarkan kesepakatan para ulama.

5.Mengeluarkan air mani dengan sengaja
Yaitu apabila sengaja mengeluarkan air mani bukan karena sebab jima’, seperti onani dengan tangannya atau mencumbui isteri dengan niat agar keluar air maninya, maka puasanya batal dan wajib mengganti dengan puasa pada hari yang lain menurut pendapat mayoritas ulama.
Dalilnya adalah sebuah hadits qudsi yang berbunyi;
يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِى
Dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena aku.
Akan tetapi apabila keluar air mani bukan karena kehendak dirinya, seperti jika mimpi basah siang hari, atau berfikir yang tidak ada niat dan perbuatan maka tidak membatalkan puasa. Berdasarkan hadits;
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِى مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا ، مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
Sesungguhnya Alloh mengampuni untuk ummatku apa yang terlintas dalam benaknya, selama dia tidak mengerjakan atau mengucapkannya.

6.Segala sesuatu yang semakna dengan makan dan minum
Seperti menggunakan cairan infus yang berfungsi menggantikan makan dan minum. Maka hal tersebut membatalkan puasa. Inilah pendapat Syaikh Abdurrahman as-Sa’di , Ibnu baz , Ibnu Utsaimin dan keputusan Majma’ al-Fiqhi . Demikian pula yang termasuk dalam kategori minum adalah merokok. Barangsiapa yang merokok dalam keadaan puasa, maka puasanya batal, karena merokok termasuk minum . Adapun jarum suntik/injeksi yang tujuannya untuk pengobatan dan tidak berfungsi sebagai pengganti makan dan minum maka tidak membatalkan puasa.

7.Niat berbuka
Jika orang yang sedang berpuasa niat untuk berbuka dan membatalkan puasanya, dengan niat yang kuat dan sadar bahwa dia sedang puasa maka saat itu juga puasanya batal sekalipun dia belum makan dan minum. Karena nabi bersabda;

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan dari apa yang diniatkannya.
Akan tetapi, barangsiapa yang niatnya ingin membatalkan puasa jika mendapati makanan atau minuman, maka puasanya tidak batal kecuali jika dia mengerjakan apa yang dia niatkan. Karena larangan dalam ibadah tidak membatalkan ibadah kecuali jika larangan tersebut dikerjakan. Kaidah ini sangat penting dan bermanfat sekali, yaitu barangsiapa yang niat untuk keluar dari sebuah ibadah maka ibadahnya batal dan rusak kecuali ibadah haji dan umroh. Akan tetapi barangsiapa yang niat untuk mengerjakan larangan ibadah maka tidak batal ibadahnya kecuali dengan mengerjakan larangan tersebut.

8.Murtad dari agama Islam
Barangsiapa yang murtad keluar dari Islam dengan ucapan, perbuatan, keyakinan, keraguan atau mengerjakan salah satu dari pembatal-pembatal Islam maka puasanya batal, bahkan seluruh amalan sholihnya ikut terhapus. Karena Alloh telah berfirman;

Jika kamu mempersekutukan (Robbmu), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. (QS.az-Zumar: 65).
Imam Ibnu Qudamah mengatakan; “Kami tidak mengetahui ada perselisihan diantara ahli ilmu bahwasanya orang yang murtad dari agama Islam ketika sedang puasa maka puasanya batal. Karena puasa adalah ibadah yang salah satu syaratnya adalah niat, niat ini bisa batal dengan perbuatan murtad, seperti perkaranya shalat dan haji, dan karena puasa juga termasuk ibadah inti yang bisa terhapus dengan kekufuran sebagaimana halnya shalat”.

B.Syarat Pembatal Puasa
Disyaratkan untuk pembatal-pembatal puasa yang telah kami sebutkan selain haidh dan nifas, tiga syarat, apabila tiga syarat ini tidak terpenuhi maka tidak membatalkan puasa seseorang.
Imam Ibnu Muflih mengatakan: “Hanyalah pembatal-pembatal puasa ini dapat membatalkan puasa apabila dikerjakan dengan sengaja, dalam keadaan ingat dan atas kehendaknya sendiri”.
Penjelasannya adalah sebagai berikut ;
Syarat Pertama: Orang yang berpuasa mengetahui hukum dari pembatal-pembatal puasa ini. Barangsiapa yang melanggar pembatal puasa karena tidak mengetahui hukumnya, maka puasanya tidak batal. Alloh berfirman

Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu.Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.al-Ahzab: 5).
Barangsiapa yang muntah dengan sengaja karena tidak mengetahui hukum bahwa muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa, maka puasanya sah tidak batal.
Demikian pula apabila ada yang makan dan minum setelah fajar, karena dia mengira fajar belum terbit atau makan dan minum karena mengira matahari telah terbenam, kemudian setelah itu jelas baginya bahwa fajar telah terbit dan matahari belum terbenam, maka puasanya sah tidak batal. Karena dia jahil akan waktu. Asma' Binti Abi Bakar berkata:
أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - يَوْمَ غَيْمٍ ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ
Kami pernah berbuka puasa pada zaman nabi pada hari yang mendung, kemudian setelah itu ternyata matahari masih terbit. (HR.Bukhari 1959).
Nabi tidak memerintahkan untuk mengganti puasa mereka, maka orang yang jahil akan waktu puasa, puasanya sah tidak batal.

Syarat Kedua: Dalam keadaan ingat, tidak karena lupa.
Barangsiapa yang makan, minum karena lupa maka puasanya tidak batal. Demikian pula pembatal-pembatal puasa yang lainnya. Alloh berfirman;

Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. (QS.al-Baqarah 286).
Imam Hasan al-Bashri dan Mujahid mengatakan: “Jika orang yang puasa bersetubuh dengan isterinya karena lupa, maka tidak ada dosa baginya”.
Akan tetapi bila ingat atau diingatkan orang lain, wajib baginya berhenti dari pembatal puasa yang ia kerjakan.

Syarat Ketiga: Sengaja dan atas kehendak dirinya sendiri.
Maka barangsiapa yang melanggar pembatal puasa karena dipaksa, puasanya sah dan tidak perlu menggantinya. Karena Alloh telah menggugurkan dosa orang yang terpaksa. FirmanNya;

Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS.an-Nahl: 106).
Apabila seseorang tidur, kemudian disiram air hingga masuk mulutnya, maka puasanya tidak batal, karena masuknya air ke mulut bukan kehendak dirinya.
Imam Bukhari berkata: “Atho mengatakan: “Apabila seseorang menghirup air ke hidung saat berwudhu, kemudian airnya malah masuk ke mulutnya maka tidak mengapa, selama dia tidak mampu”. Hasan al-Bashri berkata: “Apabila ada seekor lalat yang masuk tenggorokannya, maka tidak ada dosa baginya”.

Yang Tidak Membatalkan Puasa

Orang yang memahami agama ini dengan baik, pasti tidak akan ragu bahwa agama ini memberi kemudahan kepada para hambanya dan tidak menyulitkan. Islam telah membolehkan beberapa perkara bagi orang yang puasa. Bila perkara-perkara ini dikerjakan, puasanya sah dan tidak batal. Apa saja perkara-perkara tersebut?

1.Memasuki pagi hari dalam keadaan junub
Barangsiapa yang tidur ketika puasa, kemudian mimpi basah maka puasanya tidak batal, bahkan hendaknya dia meneruskan puasanya berdasarkan kesepakatan ulama. Demikian pula barangsiapa yang mimpi basah pada malam harinya, kemudian ketika bangun pagi hari masih dalam keadaan junub dan hendak puasa, maka puasanya sah, sekalipun dia tidak mandi kecuali setelah fajar. Berdasarkan haditsnya Aisyah dan Ummu Salamah;
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلاَمٍ فِى رَمَضَانَ ثُمَّ يَصُومُ
Adalah Rasulullah pernah memasuki fajar pada bulan Romadhan dalam keadaan junub sehabis berhubungan badan dengan isterinya bukan karena mimpi. Kemudian beliau berpuasa.

Demikian pula masuk dalam masalah ini adalah wanita yang haidh dan nifas apabila darah mereka terhenti dan melihat sudah suci sebelum fajar, maka hendaknya ikut puasa bersama manusia pada hari itu sekalipun belum mandi kecuali setelah terbitnya fajar. Karena ketika itu dia sudah menjadi orang yang wajib puasa.

2.Berciuman dan berpelukan bagi suami isteri jika aman dari keluarnya air mani
Boleh bagi suami isteri untuk berpelukan dan berciuman pada siang hari Romadhan jika dirinya mampu menahan syahwat hingga terjaga dari keluarnya air mani dan tidak terjatuh dalam perbuatan haram berupa jima’. Berdasarkan haditsnya Aisyah, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لإِرْبِهِ.
Dahulu Nabi pernah mencium dan memeluk padahal beliau sedang puasa. Dan beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya diantara kalian.
Imam Ibnul Arobi mengatakan: “Sesungguhnya berciuman dan berpelukan adalah pengecualian dari keharaman al-Qur’an, melakukannya boleh, berdasarkan perbuatan Nabi”.
Imam at-Thohawi mengatakan: “Sungguh atsar-atsar ini telah datang dari jalan yang mutawatir dari Rosululloh bahwasanya beliau berciuman ketika sedang puasa, hal ini menunjukkan bahwa ciuman tidak membatalkan orang yang puasa”.

Jika berciuman dan berpelukan menyebabkan keluarnya air madzi dari suami isteri maka puasanya sah tidak batal. Akan tetapi barangsiapa yang berciuman dan berpelukan menyebabkan air maninya keluar, maka sungguh puasanya telah batal, dan wajib mengganti puasa yang batal tersebut pada hari yang lain menurut pendapat yang terkuat. Dan wajib baginya juga untuk taubat dan menyesali perbuatannya, menjauhi segala perbuatan yang dapat membangkitkan syahwatnya. Karena orang yang puasa dituntut untuk meninggalkan segala kelezatan dan syahwatnya, dan termasuk dalam masalah ini adalah menjaga diri agar tidak keluar air maninya. Wallohu A’lam.

Faedah;
Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin berkata: “Ciuman terbagi menjadi tiga macam;
Pertama: Ciuman yang tidak diiringi dengan syahwat. Seperti ciuman seorang bapak kepada anak-anaknya yang masih kecil. Maka hal ini boleh, tidak ada pengaruh dan hukumnya bagi orang yang puasa.
Kedua: Ciuman yang dapat membangkitkan syahwat. Akan tetapi dirinya merasa aman dari keluarnya air mani, menurut pendapat madzhab Hanabilah ciuman jenis ini dibenci, akan tetapi yang benar adalah boleh tidak dibenci.
Ketiga: Ciuman yang dikhawatirkan keluarnya air mani, maka jenis ciuman ini tidak boleh, haram dilakukan jika persangkaan kuatnya menyatakan bahwa air maninya akan keluar jika berciuman. Seperti seorang pemuda yang kuat syahwatnya dan sangat cinta kepada isterinya.

3.Mandi dan mendinginkan badan
Dari Abu Bakar bin Abdirrahman dari beberapa sahabat nabi, ia berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ أَوْ مِنَ الْحَرِّ.
Di Arj, saya melihat Rasulullah mengguyurkan air ke atas kepalanya dan beliau sedang puasa. Beliau ingin mengusir rasa dahaga atau panasnya.
Imam Bukhari dalam shohihnya berkata: “Bab mandinya orang yang sedang puasa”. Kemudian beliau menyebutkan bahwa Ibnu Umar pernah membasahi sebuah baju kemudian memakainya dan beliau sedang puasa. Hasan al-Bashri berkata: “Tidak mengapa bagi yang berpuasa untuk berkumur-kumur dan mendinginkan badan”.

4.Berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung tanpa berlebihan
Dari Laqith bin Sobiroh bahwasanya Rasulullah bersabda:
وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
Bersungguh-sungguhlah kalian ketika memasukkan air ke dalam hidung, kecuali jika kalian sedang puasa.
Bolehnya berkumur-kumur bagi orang yang sedang puasa hukumnya sama saja baik ketika berwudhu, mandi atau selain itu. Puasanya tidak batal walaupun sisa-sisa basahnya air masih ada di dalam mulut. Demikian pula jika sisa berkumur tertelan bersama air liur, maka tidak membatalkan puasa, karena hal itu sulit dihindari.

5.Mencicipi makanan untuk kebutuhan selama tidak masuk kerongkongan
Ibnu Abbas berkata: “Tidak mengapa mencicipi cuka atau sesuatu apapun selama tidak sampai masuk tenggorokan dan dia sedang puasa”.
Syaikhul Islam berkata: “Mencicipi makanan bisa jadi dibenci bila tidak ada kebutuhan, akan tetapi tidak membatalkan puasa, adapun jika ada kebutuhan maka dia seperti berkumur-kumur”.

6.Berbekam bagi yang tidak khawatir lemah
Bekam adalah mengeluarkan darah kotor dari tubuh dengan menorehkan silet atau sejenisnya pada titik tertentu dari badan. Berbekam termasuk pengobatan nabawi yang ampuh dan mujarrab. Akan tetapi apakah hal ini dibolehkan bagi orang yang sedang puasa?
Sahabat mulia Ibnu Abbas mengatakan:
احْتَجَمَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - وَهُوَ صَائِمٌ
Adalah nabi berbekam padahal beliau sedang puasa.
Hadits ini adalah dalil yang sangat jelas akan bolehnya berbekam bagi orang yang sedang puasa. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, diantaranya imam yang tiga; Abu Hanifah, Malik dan Syafi’I, dan pendapat ini adalah pilihan imam Bukhari serta dikuatkan oleh Imam Ibnu Hazm.
Apabila dikhawatirkan dengan berbekam menyebabkan lemah pada badannya, maka berbekam hukumnya makruh.
Syu’bah berkata: “Aku mendengar Tsabit al-Bannani berkata: Anas bin Malik pernah ditanya; Apakah kalian dahulu memakruhkan bekam bagi orang yang berpuasa? Dia menjawab; Tidak, kecuali apabila ditakutkan terjadi kelemahan”.

Inilah pendapat yang benar dalam masalah ini. Adapun pendapat sebagian ulama seperti madzhab Hanabilah, yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim yang mengatakan bahwa bekam dapat membatalkan puasa, dasarnya adalah hadits-hadits sohih sebelum turunnya keringanan berbekam. Abu Sa’id berkata:
رَخَّصَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم فِيْ اْلقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَاْلحِجَامَةِ ِللصَّائِمِ
Adalah Rasululloh memberi keringanan bagi orang yang puasa untuk berciuman dan berbekam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Imam Ibnu Hazm berkata; Sanadnya shohih, maka wajib mengambil hadits ini. Karena keringanan itu datang setelah kewajiban. Maka hadits ini menunjukkan bahwa hukum berbekam yang dapat membatalkan puasa telah terhapus, baik untuk yang membekam atau yang dibekam”.
Imam as-Syaukani berkata: “Masalah bekam, hadits-haditsnya dapat dikompromikan dengan mengatakan bahwa berbekam hukumnya makruh bagi orang yang dikhawatirkan mengalami rasa lemah. Dan hukum makruh ini bisa bertambah berat jika rasa lemahnya menjadi sebab dia berbuka puasa. Akan tetapi hal ini tidak dibenci bagi orang yang tidak mengalami lemah jika berbekam. Bagaimanapun juga, menjauhi berbekam bagi orang yang sedang puasa adalah lebih utama”.

7.Bersiwak, celak, tetes mata, donor darah
Pejelasannya adalah sebagai berikut;
1.Bersiwak
Bersiwak dianjurkan pada setiap keadaan, baik dalam keadaan puasa atau tidak puasa, terutamanya ketika berwudhu dan hendak shalat. Rasulullah bersabda;
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلاَةٍ
Andaikan tidak memberatkan ummatku, niscaya akan aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.
Imam Ibnul Arobi mengatakan: “Para ulama kita telah mengatakan; tidak sah satu haditspun tentang hukum bersiwak bagi orang yang puasa, tidak ada yang menetapkan dan tidak ada juga yang meniadakan. Hanya saja, Nabi menganjurkan bersiwak setiap kali berwudhu dan setiap akan shalat secara umum, tanpa membedakan antara orang yang puasa dan tidak puasa”.
Ini adalah pendapat yang benar dalam masalah ini. Yaitu bolehnya bersiwak setiap waktu bagi orang yang puasa.

2.Celak dan tetes mata
Menurut pendapat terkuat bahwa memakai celak mata bagi orang yang sedang puasa dibolehkan. Karena celak mata tidak mempengaruhi orang yang puasa, sama saja dia mendapati rasanya di tenggorokan atau tidak. Ini adalah pendapatnya Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim.
Imam Bukhari berkata dalam Shohihnya: “Anas, Hasan dan Ibrohim berpendapat bahwa celak mata bagi orang yang puasa tidak mengapa”.
Adapun obat tetes mata, kebanyakan ulama kontemporer mengatakan bahwa penggunaan obat tetes mata tidak membatalkan puasa.

3.Donor darah
Masalah donor darah, para ulama kontemporer menyamakan status hukumnya dengan hukum berbekam. Dengan demikian donor darah hukumnya tidak membatalkan puasa sebagaimana berbekam. Lihat kembali point no.6 dari pembahasan Yang tidak membatalkan puasa.

8.Menelan ludah
Menelan ludah tidak membatalkan puasa, karena perkara ini termasuk sesuatu yang sulit dihindari.

ADAB-ADAB PUASA

Bulan Romadhan adalah bulan yang penuh kemuliaan dan ganjaran pahala. Orang yang beruntung adalah yang dapat memanfaatkan dan mengisi hari-hari Romadhon dengan amalan-amalan yang mulia dan menghiasinya dengan adab-adab terpuji. Adab-adab apa sajakah yang harus diperhatikan oleh orang yang sedang puasa?

1.Makan sahur
Berdasarkan hadits:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السُّحُوْرِ بَرَكَةً
Dari Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah bersabda: "Sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat keberkahan".
Hadits ini berisi anjuran untuk sahur sebelum puasa, karena didalamnya terdapat kebaikan yang banyak dan membawa berkah. Perintah dalam hadits ini hanya menunjukkan sunnah tidak sampai wajib , namun demikian hendaklah kita berusaha untuk tidak meninggalkan sahur walaupun hanya dengan seteguk air. Rasulullah mengatakan:
السَّحُوْرُ أَكْلُهُ بَرَكَةٌ فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ الْمُتَسَحِّرِيْنَ
Sahur makannya adalah berkah. Maka janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya Alloh dan malaikatNya bershalawat kepada orang-orang yang sahur.
Dan termasuk sunnah ketika sahur adalah untuk mengakhirkannya. Zaid bin Tsabit berkata: "Kami sahur bersama nabi, kemudian beliau berdiri untuk shalat shubuh. Anas bertanya: "Berapa lama jarak antara selesai sahurnya dengan adzan? Zaid menjawab: "Lamanya sekitar bacaan lima puluh ayat".

2.Tidak melakukan perbuatan sia-sia dan perkataan kotor
Puasa tidak hanya menahan makan dan minum semata. Akan tetapi lebih dari itu, yaitu menahan anggota badan dari bermaksiat kepada Alloh. Menahan mata dari melihat yang haram, menjauhkan telinga dari mendengar yang haram, menahan lisan dari mencaci dan menggibah, serta menjaga kaki untuk tidak melangkah ke tempat maksiat. Rasulullah bersabda:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوْعُ
Betapa banyak orang yang berpuasa tidak ada bagian dari puasanya kecuali hanya mendapat lapar belaka.
Rasulullah juga bersabda:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّى صَائِمٌ . مَرَّتَيْنِ
Puasa adalah perisai. Maka janganlah berkata kotor dan berbuat bodoh. Apabila ada yang memerangimu atau mencelamu, maka katakanlah aku sedang puasa, aku sedang puasa.
Dalam hadits yang lain Rasulullah bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan amalannya serta kebodohan, maka Alloh tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya. .
Dari sinilah kita mengetahui hikmah yang mendalam dari disyariatkannya puasa. Andaikan kita terlatih dengan tarbiah yang agung semacam ini, sungguh Ramadhan akan berlalu sedangkan manusia berada dalam akhlak yang agung, berpegang dengan akhlak dan adab, karena itu adalah tarbiyah yang nyata.

3.Memperbanyak sedekah
Ibnu Abbas berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَجْوَدَ النَّاسِ ، وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِى رَمَضَانَ
Adalah Rosululloh manusia yang paling dermawan. Beliau sangat dermawan jika bulan Romadhan.
Kedermawanan Rasululloh dalam segala hal, dalam memberi ilmu, harta, mengerahkan jiwa untuk membela agama dan memberi petunjuk manusia. Memberi bantuan dan manfaat dengan segala cara, beliau membantu memberi makanan orang yang kelaparan, menasehati orang yang bodoh, memenuhi hajat mereka dan menanggung segala beban berat mereka.
Demikianlah suri tauladan kita, sudahkah kita mencontohnya? Mari kita berusaha meneladani beliau dalam segala perkara.

4.Membaca al-Qur’an
Saudaraku… hiasilah bulan yang penuh berkah ini dengan membaca al-Qur'an. Ramadhan bulan diturunkannya al-Qur'an. Perbanyaklah membaca, mentadabburi dan memahami isinya pada bulan ini. Rasulullah sebagai teladan kita beliau selalu mengecek bacaan al-Qur'annya pada malaikat jibril pada bulan ini. Cukuplah keutamaan membaca dan mempelajari al-Qur'an sebuah hadits yang berbunyi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ يَقُوْلُ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُوْلُ آلمَ حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ
Dari Abdullah bin Mas'ud bahwasanya rasulullah bersabda: "Barangsiapa yang membaca satu huruf al-Qur'an, maka baginya satu kebaikan, setiap satu kebaikan dilipat gandakan hingga sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan Aliif Laam Miim satu huruf, akan tetapi Aliif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.

5.Menyegerakan berbuka
Berdasarkan hadits:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ
Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa.
Inilah sunnah Rasululloh yang banyak dilalaikan manusia. Padahal jika ummat Islam seluruhnya menyegerakan berbuka, sungguh mereka telah berpegang dengan sunnah rasul dan jalannya salaf as-Sholih, mereka tidak akan tersesat dengan izin Alloh selama berpegang dengan hal itu.

A.Dengan Apa Kita Berbuka?
Adalah Rasulullah mengutamakan berbuka dengan kurma, jika tidak ada kurma beliau berbuka dengan minum air. Berdasarkan hadits:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُفْطِرُ عَلىَ رُطُبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيْ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ رُطُبَاتٍ فَعَلىَ تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ حَسَا حَسَوَاتٍ مِنْ مَاءٍ
Adalah Rasulullah berbuka puasa dengan kurma basah sebelum shalat. Apabila tidak ada kurma basah, beliau berbuka dengan kurma kering, apabila tidak ada kurma kering, beliau berbuka dengan air.

B.Doa Berbuka Puasa
Doa yang paling utama adalah doa yang diajarkan Rasulullah. Adalah beliau ketika berbuka puasa membaca doa;
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
Telang hilang rasa dahaga, telah basah kerongkongan dan mendapat pahala insya Alloh.

C.Memberi makan orang yang berbuka puasa
Wahai saudaraku, bersemangatlah untuk memberi makan kepada orang yang berbuka puasa, karena pahala dan ganjarannya sangat besar. Rasulullah bersabda;
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرُ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا
Barangsiapa yang memberi makan kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala semisal orang yang berpuasa, tanpa dikurangi dari pahala orang yang berpuasa sedikitpun.

6.Shalat tarawih
Ketahuilah, bahwa seorang mukmin pada bulan Romadhan terkumpul dua jihad dalam dirinya. Jihad pada siang hari dengan puasa dan jihad pada malam hari dengan shalat malam. Sungguh mengerjakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan pahalanya sangat besar. Rasulullah bersabda:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang mengerjakan shalat malam di bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharap pahala Alloh, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.
Dan hendaklah mengerjakan shalat tarawih bersama imam, jangan pulang sebelum imam selesai, karena Rasulullah bersabda:
مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتىَّ يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ
Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai selesai, ditulis baginya shalat sepanjang malam.
Adapun kaum wanita, jika mereka ingin shalat taraweh di masjid, maka hendaknya memperhatikan adab-adab pergi ke masjid, seperti memakai pakaian syar’I, tidak memakai parfum, tidak bercampur baur dengan lelaki dan lain-lain.

7.Perbanyaklah berdo’a
Termasuk keberkahan bulan Romadhan, Alloh memuliakan kita semua dengan jaminan terkabulkannya doa. Keadaan berpuasa merupakan saat-saat waktu terkabulkannya do’a. Sebagaimana Rosululloh bersabda;
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ تُرَدُّ : دَعْوَةُ الوَالِدِ وَ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ
Tiga do’a yang tidak tertolak; do’a orang tua, do’a orang yang puasa dan do’a orang musafir (bepergian).

I’TIKAF

Alloh mensyariatkan berbagai macam ibadah yang agung dan ketaatan bagi para hambanya pada bulan Romadhan ini. Diantara ibadah yang agung tersebut adalah I’tikaf. Karena ibadah ini membawa banyak manfaat dan kebaikan dalam perbaikan seorang muslim. Berikut ini ulasan ringkas seputar hukum I’tikaf.

A.Hukumnya
Melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Romadhan merupakan sunnah yang dianjurkan. Karena Rasulullah sendiri melakukan I’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Romadhan sampai beliau wafat. Dan apa yang dilakukan oleh Rasulullah dengan niat ketaatan dan mendekatkan diri maka hukumnya sunnah bagi seluruh ummatnya. Amalan ini dilakukan dengan harapan akan mendapat kebaikan dan mencari lailatul qodr. Alloh berfirman;

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Robbnya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS.al-Qodr: 1-5).
Aisyah berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يُجَاوِرُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ ، وَيَقُولُ « تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Rasulullah berdiam diri di dalam masjid pada sepuluh hari terakhir bulan Romadhan. Beliau berkata: “Carilah Lailatul Qodr pada sepuluh hari terakhir di bulan Romadhan”.

B.Hikmah I’tikaf
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Alloh mensyariatkan iktikaf maksud dan intinya adalah agar hati lebih tenang dan menghadap kepada Alloh. Memusatkan hati, mendekatkan diri kepadaNya dan menghilangkan kesibukan yang berhubungan dengan manusia, hanya sibuk kepada Alloh saja”.

C.Tempatnya
I’tikaf tidak dilakukan melainkan di dalam masjid. Berdasarkan firman Alloh yang berbunyi;

Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. (QS.al-Baqoroh: 187).
Imam al-Qurthubi berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa I’tikaf tidaklah dikerjakan melainkan di dalam masjid”.
Dan yang paling afdhol adalah I’tikaf di masjidil Harom kemudian masjid Nabawi kemudian masjid al-Aqsho. Berdasarkan hadits;
لاَ اعْتِكَافَ إِلاَّ فِيْ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ
Tidak ada I’tikaf melainkan pada masjid yang tiga.

D.Anjuran Bagi Yang Sedang I’tikaf
Dianjurkan bagi pelaku i’tikaf agar menyibukkan diri dengan ketaatan kepada Alloh. Seperti shalat, membaca al-Qur’an, membaca dzikir, istighfar, banyak berdo’a atau mengkaji ilmu dan sebagainya.
Pelaku I’tikaf diperbolehkan keluar dari tempat I’tikafnya untuk menunaikan kebutuhan yang memang harus dikerjakan. Dia pun boleh menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku atau membersihkan badan.
Apabila orang yang I’tikaf keluar tanpa ada kebutuhan maka I’tikafnya dianggap batal, demikian pula jika ia melakukan jima’.
Aisyah berkata:
السُّنَّةُ فِيْ الْمُعْتَكِفِ أَنْ لاَ يَخْرُجَ إِلاَّ لِحَاجَتِهِ الَّتِيْ لاَ بُدَّ لَهُ مِنْهَا
Sunnah bagi yang sedang I’tikaf hendaknya dia tidak keluar melainkan untuk kebutuhan yang memang harus dikerjakan.
LAILATUL QODR

Malam Lailatul Qodr adalah malam yang mulia, Alloh telah memuliakannya dengan banyak keutamaan dan kebaikan. Malam ini lebih baik dari seribu bulan, ibadah pada malam ini sebanding dengan ibadah seribu bulan yaitu 83 tahun 4 bulan, padahal umur manusia sangat sedikit yang bisa mencapai seperti itu. Pada malam ini ditetapkan segala taqdir manusia dalam setahun. Alloh berfirman;

Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS.ad-Dukhon: 4).
Imam Qotadah berkata: “Pada malam ini dijelaskan segala perkara dalam setahun”.
Kemuliaan dan keagungan malam ini bertambah lagi dengan diturunkannya al-Qur’an dan kebaikan yang banyak, Alloh menggambarkan kemuliaan malam Lailatul Qodr;

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu?. malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Robbnya untuk mengatur segala urusan. malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS.al-Qodr: 1-5).
Imam Ibnu Katsir mengatakan: “Malaikat banyak turun pada malam ini karena banyaknya kebaikan pada malam tersebut. Para malaikat turun bersamaan dengan turunnya keberkahan dan rahmat”.

Kapankah Waktu Lailatul Qodr itu?
Lailatul Qodr jatuh pada setiap bulan Romadhan, karena Alloh menurunkan al-Qur’an pada malam itu, sedangkan turunnya al-Qur’an adalah di bulan Romadhan. Alloh berfirman:

Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan. (QS.al-Qodr: 1).
Dan Alloh berfirman

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). (QS.al-Baqoroh: 185).
Terutamanya adalah pada sepuluh hari terakhir bulan Romadhan, berdasarkan hadits Aisyah bahwasanya Rasululloh bersabda;
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah Lailatul Qodr pada sepuluh hari terakhir bulan Romadhan.
Terutamanya lagi pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir Romadhan. Rasululloh bersabda;
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah malam Lailatul Qodr di malam ganjil pada sepuluh hari terakhir bulan Romadhan.
Yang paling ditekankan lagi adalah malam dua puluh tujuh, berdasarkan hadits Ubay bin Ka’ab, dia berkata;
وَاللَّهِ إِنِّى لأَعْلَمُهَا هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
Sungguh saya tahu malam apakah Lailatul Qodr itu yaitu malam yang Rosululloh memerintahkan kami supaya menghidupkannya, yaitu malam dua puluh tujuh.
Akan tetapi tidak boleh menentukan Lailatul Qodr dengan satu malam tertentu untuk setiap tahun. Karena Lailatul Qodr itu berganti-ganti setiap tahunnya sesuai kehendak Alloh, dan sesuai dengan konteks haditsnya.
Abu Qilabah berkata: “Lailatul Qodr itu berganti-ganti pada sepuluh terakhir malam-malam ganjil”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Saya menguatkan bahwa Lailatul Qodr itu pada sepuluh hari terakhir dan berganti-ganti. Para ulama mengatakan; Hikmah tersembunyinya kepastian waktu Lailatul Qodr itu agar manusia bersungguh-sungguh untuk mencarinya. Seandainya kepastian malamnya diberitahu, maka manusia hanya akan bersungguh-sungguh di malam itu saja (sedangkan malam lainnya tidak)”.

Tanda-Tanda Lailatul Qodr
Rasululloh telah mengkhabarkan tanda-tanda malam lailatul qodr agar seorang muslim mengetahuinya. Diantaranya dijelaskan dalam hadits Ubay bin Ka’ab;
وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا
Pagi hari malam Lailatil Qodr, matahari terbit putih, tidak menyilaukan.
Dan dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas tanda lainnya sebagai berikut;
لَيْلَةُ الْقَدْرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلْقَةٌ لاَ حَارَّةٌ وَلاَ بَارِدَةٌ تُصْبِحُ شَمْسُهَا صَبِيْحَتَهَا ضَعِيْفَةً حَمْرَاءَ
Lailatul Qodr adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin. Keesokan harinya cahaya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.

Maka hendaknya bagi seorang muslim dan muslimah untuk bersemangat dan berlomba-lomba menghidupkan malam Lailatul Qodr dengan memperbanyak amal ibadah dan ketaatan seperti shalat, membaca al-Qur’an, sedekah dan sebagainya. Rasululloh bersabda;
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Barangsiapa yang shalat pada malam Lailatul Qodr dengan penuh keimanan dan harapan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Perbanyaklah membaca do’a pada malam yang mulia ini dengan do’a yang diajarkan Rosululloh kepada Aisyah tatkala dia berkata;
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَدْعُو قَالَ « تَقُولِينَ اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
Wahai Rosululloh, bila aku mendapati Lailatul Qodr, apakah yang saya ucapkan?. Nabi bersabda; “Ucapkanlah: Ya Alloh, Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampun, maka ampunilah aku”.


ZAKAT FITRI

Zakat adalah salah satu kewajiban dalam Islam. Bahkan salah satu rukun Islam yang terpenting setelah syahadat dan shalat. Al-Qur’an, Hadits dan Ijma’ ulama telah menetapkan hukum wajibnya zakat. Berikut ini adalah panduan praktis seputar zakat fithri. Allohul Muwaffiq.

DEFINISI ZAKAT FITHRI
Zakat secara bahasa bermakna berkembang, bertambah, suci dan berkah.
Sedangkan fithri secara bahasa bermakna berbuka. Sehingga bila kedua kata ini digabungkan, maknanya adalah; Zakat yang ditunaikan seorang muslim untuk dirinya atau orang lain pada akhir bulan Romadhan, saat orang-orang yang puasa telah berbuka dan selesai dari ibadah puasanya.
Zakat ini dinamakan sebagai zakat fithri berdasarkan hadits Ibnu Umar yang akan datang. Dinamakan juga dengan zakat Romadhan sebagaimana haditsnya Abu Hurairoh bahwasanya dia berkata;
وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ
Rasululloh menugaskanku untuk menjaga zakat Romadhan.

Adapun istilah yang masyhur di masyarakat bahwa zakat ini bernama zakat fithroh, tidak bisa disalahkan seratus persen!!, karena menurut imam an-Nawawi bahwa kalimat ini adalah istilah yang digunakan oleh para ahli fiqih. Terambil dari kalimat fithroh yang bermakna khilqoh (ciptaan). Alloh berfirman:

(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. (QS.ar-Ruum: 30).
Maksudnya zakat khilqoh yaitu zakatnya badan dan jiwa . Sebagaimana adanya istilah zakat harta.

Walaupun demikian, kita sepakat bahwa menggunakan lafazh yang dinashkan itu lebih utama. Wallohu A’lam.

HUKUMNYA
Zakat fithri hukumnya wajib. Kewajiban ini turun bersamaan dengan kewajiban puasa Romadhan yaitu pada tahun kedua hijriah. Dasar wajibnya zakat fithri adalah hadits Abdullah bin Umar bahwasanya dia berkata;
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Rasulullah mewajibkan zakat fithri satu sho’ dari kurma, atau satu sho’ dari gandum bagi budak, orang yang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan orang dewasa dari kaum muslimin. (HR.Bukhari: 1503, Muslim: 984).
Imam Ibnul Mundzir berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa zakat fithri hukumnya wajib”.

KEPADA SIAPA DIWAJIBKAN?
Zakat fithri diwajibkan bagi orang-orang yang memenuhi syarat sebagai berikut;
1.Muslim
Wajib bagi seluruh kaum muslimin untuk menunaikan zakat fithri. Baik dia orang yang merdeka, budak, laki-laki, wanita, anak kecil, ataupun orang dewasa. Berdasarkan haditsnya Ibnu Umar diatas.

Imam Ibnu Qudamah mengatakan: “Kesimpulannya, bahwa zakat fithri wajib bagi setiap muslim. Baik anak kecil, dewasa, laki-laki, wanita, menurut pendapat mayoritas ahli ilmu. Dan zakat fithri ini juga wajib bagi anak yatim, hendaknya wali yatim mengeluarkan zakatnya dari harta anak yatim tersebut, dan juga wajib bagi seorang budak”.
Adapun orang kafir maka tidak wajib bayar zakat fithri dan tidak sah bila membayarnya. Alloh berfirman;

Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya. (QS.at-Taubah: 54).
Karena fungsi zakat fithri sebagai pembersih jiwa, dan hal itu tidak pantas bagi orang kafir.

Permasalahan: Adakah zakat fithri bagi janin?
Para ulama madzhab Hanabilah menganjurkan untuk mengeluarkan zakat fithri bagi janin. Dasarnya adalah sebuah atsar dari Utsman bin Affan bahwasanya beliau mengeluarkan zakat fithri bagi janin.
Imam Ibnul Mundzir mengatakan: “Para ulama telah sepakat bahwasanya tidak ada kewajiban zakat bagi janin yang masih dalam perut ibunya. Imam Ahmad bin Hanbal bersendirian dalam masalah ini dengan menganjurkan zakat bagi janin dan tidak mewajibkannya”.
Akan tetapi anjuran mengeluarkan zakat fithri bagi janin ini disyaratkan bila usia janin telah mencapai empat bulan, ketika telah ditiupkan ruhnya.

2.Mampu dan Mempunyai kecukupan
Maksudnya bahwa zakat fithri tidak wajib melainkan bagi orang yang mempunyai kecukupan lebih dari satu sho’ untuk hari raya dan malamnya. Lebih dari cukup untuk kebutuhan makan pokoknya, makan pokok keluarganya dan kebutuhan yang asasi lainnya.
Apabila seseorang punya makanan pokok untuk dirinya dan keluarganya untuk hari raya dan malamnya, kemudian makanan itu masih sisa satu sho’ maka hendaklah dia mengeluarkan zakat fithrinya.
Imam al-Khotthobi mengatakan: “Zakat fithri itu wajib bagi seluruh orang yang puasa. Orang yang kaya punya keluasan atau orang miskin yang mempunyai kelebihan dari kebutuhan pokoknya. Karena sebab wajibnya zakat fithri adalah untuk membersihkan jiwa, dan hal ini dibutuhkan oleh seluruh orang yang puasa. Apabila mereka semua sama dalam hal ini, maka sama pula dalam kewajibannya”.

3.Mendapati waktu wajibnya zakat
Yaitu saat tenggelamnya matahari pada malam iedul fithri. Karena zakat fithri disyariatkan untuk pembersih jiwa orang yang puasa, dan hal tersebut terwujud ketika ibadah puasa telah sempurna, yaitu saat tenggelamnya matahari akhir dari bulan Romadhan. Inilah pendapat yang dipilih oleh mayoritas ulama. Berdasarkan haditsnya Ibnu Umar;
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ زَكَاةَ اْلفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ
Rasulullah mewajibkan zakat fithri dari bulan Romadhan. (HR.Bukhari: 1503, Muslim: 984).
Maka barangsiapa yang masuk Islam setelah matahari tenggelam, atau menikah atau mendapat anak setelah matahari tenggelam, maka mereka tidak wajib bayar zakat fithri, karena tidak mendapati sebab wajibnya zakat fithri tersebut.

Perhatian;
Seorang insan wajib mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang wajib dia beri nafkah semisal isteri dan anak-anaknya dengan syarat bila mereka tidak mampu membayarnya. Apabila mereka mampu membayar sendiri, maka kewajiban tetap pada pundak mereka, karena mereka termasuk keumuman hadits Ibnu Umar diatas.
Imam Ibnu Hubairoh berkata: “Para ulama telah sepakat bahwasanya wajib bagi yang terkena seruan perintah zakat fithri untuk membayarnya dengan perbedaan sifat mereka”.
Beliau juga berkata: “Para ulama telah sepakat bahwasanya wajib bagi anak kecil yang mampu (memiliki harta) untuk membayar zakat fithri. Dan wajib bagi kedua orang tua untuk membayari zakatnya anak-anak mereka yang tidak mampu”.

HIKMAH DAN MANFAAT ZAKAT FITHRI
Tidak ragu lagi bahwa menunaikan zakat fithri mengandung hikmah yang sangat banyak. Diantara hikmah yang paling penting dan menonjol adalah;
Pertama: Pembersih dosa orang yang puasa
Karena saat kita puasa mesti ada saja kekurangan, hingga dengan zakat fithri kekurangan tersebut dapat terhapus dan menjadikan puasa kita sempurna.

Kedua: Membantu fakir miskin
Sehingga mereka mendapat kecukupan pada hari raya dan ikut merasakan bahagia, tidak meminta-minta orang lain. Jadilah hara raya adalah hari kebahagian bagi seluruh lapisan masyarakat.

Ketiga: Solidaritas antar kaum muslimin
Karena orang yang mampu akan memberikan hartanya kepada yang tidak mampu. Sehingga rasa peduli dan solidaritas antar sesama kaum muslimin akan terpupuk dan terjalin dengan baik.

Keempat: Mendapat pahala dan ganjaran yang besar
Apabila zakat fithri itu diberikan kepada yang berhak dan sesuai waktunya serta ikhlas hanya mengharap wajah Alloh semata.

Kelima: Zakat bagi badan
Yaitu manakala Alloh memberi nikmat bagi badan dengan tetap sehat dan bertahan hidup selama setahun. Seluruh manusia dalam hal ini sama, kewajiban mereka cukup memberikan satu sho’ saja.

Keenam: Sebagai rasa syukur kepada Alloh
Dengan nikmat yang Alloh berikan kepada seluruh orang yang puasa yaitu berupa kekuatan sehingga dapat menyempurnakan ibadah puasa sampai selesai.

Sungguh Alloh mempunyai hikmah yang mendalam, rahasia-rahasia yang mungkin tidak bisa dijangkau oleh akal seluruh manusia.


WAKTU MENGELUARKAN ZAKAT FITHRI
Menurut pendapat yang terkuat dan berdasarkan dalil-dalil yang shahih, waktu mengeluarkan zakat fithri ada dua ;
1.Waktu yang afdhol; yaitu sejak malam hari raya hingga sebelum shalat iedul fithri. Berdasarkan hadits Ibnu Umar dia berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
Adalah nabi memerintahkan agar menunaikan zakat fithri sebelum keluarnya manusia menuju shalat. (HR.Bukhari: 1503, Muslim: 984).
Imam Ibnu Tiin berkata: “Yaitu sebelum keluarnya manusia menuju shalat ied dan setelah shalat shubuh”.

2.Waktu yang boleh; yaitu satu hari atau dua hari sebelum hari raya. Ibnu Umar berkata:
فَرَضَ النَّبِىُّ صَدَقَةَ الْفِطْر..., ِوَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
Nabi mewajibkan sedekah fithri, …dan mereka para sahabat memberikannya satu hari atau dua hari sebelum hari raya. (HR.Bukhari: 1511, Muslim: 984).
Dan tidak boleh mengeluarkan zakat fithri setelah shalat ied. Barangsiapa yang membayar zakat fithri setelah shalat ied, maka dia berdosa dan tidak diterima zakatnya . Ibnu Abbas berkata:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Rosulullah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih orang yang puasa dari perbuatan yang sia-sia dan kotor serta memberi makan orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat, maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah sedekah seperti sedekah-sedekah lainnya. (HR.Abu Dawud: 1609, Ibnu Majah: 1827, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa: 843).
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Tuntutan dua hadits ini, bahwasanya tidak boleh mengakhirkan bayar zakat fithri setelah shalat ied. Dan waktunya dianggap habis dengan selesainya shalat ied. Inilah yang benar, tidak ada yang dapat menentang dua hadits ini, dan tidak ada yang menghapusnya serta tidak ada ijma’ yang dapat menolak pendapat yang didasari dua hadits ini”.

Permasalahan;
Badan Pengelola Zakat
Terkadang diantara kita ada yang mewakilkan pemberian zakat kepada badan-badan pengelola zakat. Masalahnya, bolehkah menyerahkan zakat fithri kepada badan-badan pengelola zakat yang terkadang memberikannya kepada fakir miskin setelah selesai shalat hari raya Iedul Fithri? Jawaban masalah ini diperinci sebagai berikut;
1.Apabila badan pengurus zakat tersebut mewakili pemberi zakat dan penerima zakat, seperti badan-badan resmi yang ditunjuk atau diizinkan pemerintah, maka boleh memberikan zakat kepada mereka meskipun mereka akan memberikannya kepada fakir miskin setelah hari raya.
2.Apabila badan pengurus hanya mewakili pemberi zakat saja, bukan mewakili penerima zakat, seperti badan-badan yang tidak resmi dari pemerintah atau tidak mendapat izin pemerintah, maka mereka harus memberikan zakat fithri kepada fakir miskin sebelum shalat ied, dan tidak boleh mewakilkan kepada badan-badan tersebut jika diketahui bahwa mereka memberikannya kepada fakir setelah shalat ied. (Lihat Nawazil Zakat hal.512-513, DR.Abdulloh Bin Manshur al-Ghufaili).

UKURAN DAN JENISNYA
Ukuran zakat fithri adalah satu sho’ Rasulullah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits yang masyhur dari Rasululloh, di antaranya adalah;
Abu Sa’id al-Khudri berkata;
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Dahulu kami mengeluarkan zakat fithri satu sho’ makanan, atau satu sho’ gandum, atau satu sho’ kurma, atau satu sho’ keju atau satu sho’ anggur kering. (HR.Bukhari: 1506, Muslim: 985).
Satu sho’ adalah empat mud, satu mud adalah satu cakupan kedua tangan laki-laki berperawakan sedang, dalam keadaan jari jemari tidak menggenggam juga tidak melebar.
Maka satu sho’ bila dengan ukuran kilogram hasilnya sekitar 2,04 Kg.

Lalu bagaimana dengan ukuran beras?
Karena ukuran diatas adalah untuk ukuran gandum, maka bagaimanakah jika berupa beras? Setelah dilakukan uji coba di ma’had al-Furqon pada tahun 1426 H, ternyata ukuran satu sho’ bila dengan beras hasilnya adalah 2,33 Kg atau 2,7 liter beras kualitas sedang. Allohu A’lam.

Adapun jenis yang dikeluarkan untuk zakat fithri adalah sebagaimana tersebut dalam hadits diatas dan seluruh makanan pokok yang umum dimakan oleh manusia dalam negerinya seperti beras. Penyebutan empat jenis makanan dalam hadits diatas karena memang itulah makanan pokok manusia pada zaman nabi. Abu Sa’id al-Khudri berkata;
كُنَّا نُخْرِجُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ . وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالأَقِطُ وَالتَّمْرُ
Dahulu kami mengeluarkan zakat fithri pada zaman nabi satu sho’ makanan. Dan makanan kami ketika itu adalah gandum, anggur kering, keju dan kurma. (HR.Bukhari: 1510).

Imam Ibnul Qoyyim mengatakan: “Dan lima jenis makanan ini adalah makanan pokok umumnya manusia di kota Madinah saat itu, adapun penduduk sebuah negeri, bila makanan pokoknya selain lima jenis diatas, maka yang wajib bagi mereka adalah mengeluarkan satu sho’ dari makanan pokok mereka. Apabila makanan pokok mereka seperti susu, daging, ikan maka hendaklah mereka mengeluarkan zakatnya dari makanan pokok tersebut apapun bentuknya. Ini adalah pendapatnya mayoritas ulama dan ini adalah pendapat yang benar, tidak menerima selainnya”.

Permasalahan:
Zakat fithri dengan uang?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat fithri tidak boleh diganti dengan uang. Ini merupakan madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Adapun madzhab Hanafiyyah membolehkannya. Pendapat yang membolehkan ini banyak diikuti oleh para penulis, seperti Ahmad al-Ghumari dalam Tahqiqul Amal Fi Ikhroj Zakatil Fithri bil Mal, Husain bin Ali ash-Shuda dalam risalahnya Jawaz Ikhroj Zakatil Fithri Naqdan, dan lain-lain. Namun pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena beberapa alasan;
1.Dalil-dalil pendapat pertama lebih kuat dibandingkan dalil-dalil pendapat kedua
2.Mengeluarkan zakat fithri dengan uang menyelisihi sunnah Rasulullah, karena pada masa beliau mata uang sudah ada, namun tidak dinukil kabar beliau memerintahkan kepada para sahabatnya mengeluarkan zakat fithri dengan dinar ataupun dirham.
3.Ibadah ini telah dibatasi dengan tempat, waktu jenis dan ukurannya, maka tidak boleh diselisihi, karena ibadah harus berdasarkan dalil.
4.Mengeluarkannya dengan uang berarti mengubah zakat fithri dari suatu syiar yang tampak menjadi shodaqoh yang tersembunyi.
5.Sesuai dengan kaidah bahwa tidak boleh berpindah kepada badal (ganti) melainkan bila aslinya tidak ada. (Ahkam Ma Ba’da Shiyam hal.32-33, Muhammad bin Rosyid al-Ghufaili).

YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITHRI
Ulama berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapat;
Pendapat Pertama: Zakat fithri penyalurannya seperti zakat-zakat yang lain, yaitu kepada delapan golongan yang tersebut dalam ayat;

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.at-Taubah: 60).
Ayat ini umum mencakup pula zakat fithri. Adapun penyebutan miskin dalam hadits Ibnu Abbas tidak menunjukkan kekhususan untuk mereka saja, sebagaimana dalam hadits yang lain, ketika Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal untuk mengambil zakat harta, beliau bersabda;
فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لِذَلِكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Apabila mereka mentaatimu, maka kabarkanlah kepada mereka bahwasanya Alloh telah mewajibkan zakat pada harta mereka, zakat itu diambil dari orang kaya diantara mereka dan disalurkan kepada orang fakir diantara mereka. (HR.Bukhari: 1395, Muslim: 29).
Berdasarkan hadits ini tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa zakat harta itu khusus bagi orang fakir saja.

Pendapat Kedua: Zakat fithri penyalurannya khusus untuk fakir dan miskin. Karena Ibnu Abbas berkata;
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Rasulullah mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih orang yang puasa dari perbuatan sia-sia dan kotor serta memberi makan orang miskin. (HR.Abu Dawud: 1609, Ibnu Majah: 1827, dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa: 843).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Pendapat ini lebih kuat dalilnya”.
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Termasuk petunjuk nabi dalam zakat fithri adalah pengkhususan orang-orang miskin. Nabi tidak pernah membagikannya kepada delapan golongan, tidak memerintahkan dan tidak pernah dikerjakan oleh seorang sahabatpun dan tidak pernah dikerjakan oleh orang-orang yang datang setelah mereka. Bahkan kami katakan, tidak boleh menyalurkan zakat fithri kecuali kepada orang-orang miskin. Pendapat ini lebih kuat daripada yang mengatakan boleh menyalurkannya kepada delapan golongan”.
Pendapat kedua inilah yang lebih kuat menurut kami. Wallohu A’lam.

TEMPAT PENYALURAN ZAKAT FITHRI
Zakat fithri hendaklah dikeluarkan ditempat dia tinggal dan menghabiskan puasa Ramadhannya. Karena ada sebuah kaidah yang disebutkan oleh para ulama bahwa zakat fithri mengikuti badan, sedangkan zakat harta mengikuti harta itu berada.
Rasululloh berkata kepada Muadz bin Jabal;
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ ، تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Maka kabarkanlah kepada mereka bahwa Alloh telah mewajibkan zakat yang diambil dari orang kaya diantara mereka dan diberikan kepada orang fakir diantara mereka. (HR.Bukhari: 1395, Muslim: 19).
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Yang sunnah adalah membagikan zakat fithri bagi orang-orang fakir di tempat orang yang mengeluarkan zakat. Dan tidak dipindah ke negeri atau tempat yang lain. Untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir di daerahnya”.
Dalam kesempatan yang lain beliau juga berkata: “Maka mengeluarkan zakat di daerahmu yang engkau tinggal di dalamnya adalah lebih utama dan lebih berhati-hati”.

Faedah:
Boleh bagi beberapa orang yang mengeluarkan zakat fithri untuk memberikannya kepada satu orang miskin saja, demikian pula sebaliknya, boleh bagi satu orang yang membayar zakat fithri untuk memberikannya kepada beberapa orang miskin. Karena Nabi hanya menentukan ukuran zakat dan tidak menentukan ukuran orang perima zakat.
Berdasarkan keumuman ayat;

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin. (QS.Taubah: 60).
Imam Ibnu Qudamah berkata: “Saya tidak mengetahui ada perselisihan dalam masalah ini”.

Inilah akhir yang dapat kami kumpulkan seputar zakat fithri. Semoga yang sedikit ini dapat mewakili pelbagai persoalan yang sering ditanyakan seputar masalah ini. Wallohu A’lam.


PENETAPAN AWAL I’DUL FITHRI

Awal I’dul Fitri ditentukan dengan dua cara;
Pertama; Terlihatnya hilal bulan Syawal, akan tetapi hal ini tidak bisa ditentukan kecuali dengan kesaksian dua orang saksi. Berdasarkan haditsnya Abdurrahman bin Zaid bin Khothob dari para sahabat nabi bahwasanya Rasululloh bersabda;
فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ مُسْلِمَانِ فَصُوْمُوْا وَأَفْطِرُوْا
Dan jika dua orang muslim memberi kesaksian maka berpuasa dan berbukalah.
Imam at-Tirmidzi mengatakan: “Para ahli ilmu telah menegaskan untuk beramal dengan kandungan hadits ini. Mereka mengatakan; Persaksian satu orang bisa diterima untuk penentuan awal puasa. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mubarak, Syafi’I, Ahmad, dan orang-orang kuffah. Dan tidak ada perselisihan antara ahli ilmu bahwa jika untuk berbuka (berhari raya) tidak diterima kecuali persaksian dari dua orang”.

Kedua: Jika hilal tidak terlihat, karena suatu sebab seperti mendung, maka bulan Romadhan digenapkan 30 hari. Berdasarkan hadits Abu Hurairoh, bahwasanya Rosulullah bersabda;
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ
Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berbukalah (berhari raya) karena melihat hilal. Jika awal bulan samar bagi kalian, maka genapkanlah bilangan hingga tiga puluh hari.
Dan dalam masalah hari raya hendaklah kaum muslimin menyerahkan dan mengikuti pemerintah mereka agar tidak terjadi perpecahan dan perbedaan di kalangan kaum muslimin. Sebab, bagaimanapun juga persatuan adalah sesuatu yang sangat ditekankan dalam syariat Islam. Penjelasan dan anjuran ini sangat sesuai dengan dalil-dalil syar’I, diantaranya hadits Rosululloh yang berbunyi;
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
Hari puasa adalah ketika kalian semua berpuasa. Hari raya idul fitri adalah ketika kalian semua berhari raya idul fitri. Dan hari raya idul adha, adalah ketika kalian semua berhari raya idul adha.
Imam at-Tirmidzi mengatakan; “Sebagian ahli ilmu menafsiri hadits ini, bahwa puasa dan berhari raya itu bersama jama’ah dan umumnya manusia”.
Imam as-Shon’ani berkata: “Hadits ini merupakan dalil bahwa patokan hari raya adalah bersama manusia dan bahwa orang yang melihat hilal I’ed sendirian maka dia harus mengikut kepada yang lain dalam shalat, I’dul Fithri dan I’dul Adha.
Syaikh al-Albani berkata: “Inilah yang sesuai dengan syariat yang mulia ini, yang bertujuan untuk menyatukan barisan kaum muslimin dan menjauhkan mereka dari perpecahan. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi -sekalipun dalam pandangannya benar- dalam ibadah jama’iyyah seperti puasa, hari raya dan sholat jama’ah”. Allohu A’lam.

MASALAH-MASALAH KONTEMPORER

Perkembangan zaman, dengan segala realitas kehidupan yang ada di dalamnya, telah memunculkan berbagai persoalan baru yang memerlukan respon keagamaan yang tepat dan argumentatif. Banyak masalah baru yang tidak ada pada zaman dahulu, tidak ada pula dalam kitab-kitab klasik. Butuh kedalaman ilmu dan fatwa ulama masa kini untuk membahas persoalan baru tersebut yang relevan dengan konteks kenyataan zaman sekarang. Berikut ini beberapa contoh masalah-masalah baru seputar puasa yang kami sarikan dari fatwa-fatwa ulama.

1.Cara Berpuasa Di Negara Yang Tidak Terbit Matahari
Sebagaimana kita ketahui bahwa puasa seorang muslim dimulai sejak terbitnya fajar shodiq hingga tenggelamnya matahari. Nah, bagaimanakah cara berpuasa bagi para penduduk muslim yang tinggal di sebuah Negara yang tidak terbit matahari, atau mengalami siang hari enam bulan kemudian malam enam bulan juga? Ketahuilah, Negara-negara di belahan dunia ini menurut lokasi garis katulistiwa terbagi menjadi tiga bagian;
Pertama: Negara-negara yang terletak pada dua garis katulistiwa 45 dan 48 derajat utara dan selatan. Negara-negara ini bisa membedakan seluruh tanda-tanda alam untuk penetapan waktu dalam dua puluh empat jam, baik waktunya panjang atau pendek.
Kedua: Negara-negara yang terletak pada dua garis katulistiwa 48 dan 66 derajat utara dan selatan. Negara-negara ini tidak bisa membedakan sebagian tanda-tanda alam dalam penentuan waktu pada beberapa hari dalam setahun. Seperti tidak bisa melihat hilangnya mega merah yang menandai masuknya waktu shalat Isya’ dan berakhirnya waktu shalat maghrib hingga tersamarkan dan tercampur dengan waktu shubuh.
Ketiga: Negara-negara yang terletak di atas garis katulistiwa 66 derajat utara dan selatan hingga ke daerah kutub. Negara-negara ini tidak bisa melihat tanda-tanda alam untuk penetapan waktu dalam kurun waktu yang lama dalam setahun siang atau malamnya.
Lantas, bagaimana cara berpuasa bagi tiga kelompok Negara di atas? Lembaga Kibar Ulama Di Saudi Arabia pernah ditanya permasalahan ini, yang kesimpulan jawabannya adalah sebagai berikut;
Pertama: Barangsiapa yang tinggal di Negara yang bisa terbedakan antara siang dan malamnya dengan terbit fajar dan tenggelamnya matahari, hanya saja waktu siang terkadang sangat panjang jika musim panas dan pendek pada musim dingin, maka wajib bagi seluruh mukallaf untuk menahan diri setiap harinya dari makan, minum dan pembata-pembatal puasa mulai terbit fajar hingga tenggelam matahari, selama waktu siang bisa terbedakan dengan waktu malam. Boleh bagi mereka untuk makan, minum dan jima’ pada waktu malam saja sekalipun waktunya pendek. Karena syariat Islam berlaku umum bagi semua manusia di di seluruh negeri. Alloh berfirman;

Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam. (QS.al-Baqoroh: 187).
Dan barangsiapa yang lemah untuk menyempurnakan puasa hingga tenggelam matahari karena waktu siang yang sangat panjang, boleh baginya berbuka puasa dan hendaklah diganti pada hari yang lain di bulan apa saja yang mungkin baginya membayar utang puasanya. Alloh berfirman;

Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS.al-Baqoroh: 185).
Kedua: Barangsiapa yang tinggal di sebuah negeri yang matahari itu tidak tenggelam ketika musim panas dan tidak terbit ketika musim dingin, atau tinggal di sebuah negeri yang siang harinya berjalan enam bulan dan malam harinya enam bulan, maka wajib bagi mereka untuk puasa Romadhan dengan memperkirakan waktunya, mulai dari permulaan Romadhan dan selesainya, waktu terbit fajar dan tenggelam matahari dengan cara melihat Negara yang terdekat dengan mereka yang mana pada Negara itu bisa terbedakan antara siang dan malamnya hingga waktu siang dan malam tepat dua puluh empat jam.

2.Berpuasa 28 Hari, Kemudian Melihat Hilal Syawal.
Gambaran permasalahannya sebagai berikut; seseorang melihat hilal Romadhan di negaranya dan berpuasa mengikuti waktu setempat. Kemudian dia pergi jauh ke Negara lain dan sudah berpuasa 28 hari ketika sampai di Negara tersebut. Ternyata, penduduk setempat sudah melihat hilal syawal, padahal dirinya baru berpuasa 28 hari!, apakah dia boleh ikut hari raya bersama penduduk setempat ataukah tetap melanjutkan puasa karena mengingat puasa Romadhan tidak kurang dari 29 hari?
Jawabnya; yang menjadi patokan dalam memulai puasa romadhan adalah mengikuti ru’yah hilal di negaranya dia berada. Demikian pula ketika berhari raya maka hendaklah dia mengikuti ru’yah hilal di Negara yang sedang dia kunjungi. Dengan demikian, dia wajib berbuka, berhari raya dan shalat ied bersama penduduk setempat yang melihat hilal syawal. Dan dia wajib mengqodho kekurangan puasanya, hingga dia benar-benar berpuasa 29 hari, karena bulan Islam itu kadang-kadang 29 hari dan kadang-kadang 30 hari.

3.Hukum Obat Pencegah Haidh
Keutamaan bulan Romadhan menjadikan setiap orang ingin berlomba-lomba dalam kebaikan. Mereka ingin meraih ganjaran puasa yang besar pada bulan ini. Tidak terkecuali kaum wanita. Namun, bagi kaum wanita ada penghalang yang membuat mereka tidak bisa berpuasa sebulan penuh karena datangnya darah haidh. Nah, apakah boleh bagi kaum wanita meminum obat pencegah haidh karena ingin berpuasa Romadhan sebulan penuh?
Jawabnya; Ketahuilah, meminum obat pencegah haidh pada asalnya dibolehkan apabila terpenuhi tiga syarat;
Pertama: Tidak membahayakan dan tidak menimbulkan efek samping apabila meminumnya. Karena segala sesuatu yang membahayakan terlarang dalam agama ini. Rasulullah bersabda:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh me-rugikan dan tidak boleh menimpakan kerugian.
Kedua: Atas persetujuan dan ketetapan dokter yang ahli dan amanat.
Ketiga: Mendapat izin dari suami. Allohu A’lam.

4.Puasa Di Atas Pesawat
Orang yang sedang berpuasa dan dia berada di atas pesawat, tidak lepas dari beberapa kondisi;
A.Waktu fajar dan berbuka puasa
Apabila orang yang sedang puasa pergi jauh dengan naik pesawat, maka dia tidak boleh makan dan minum ketika telah melihat fajar dari luar pesawat. Demikian pula ketika berbuka puasa, hendaklah berbuka ketika telah melihat matahari tenggelam dari pesawat. Dalam hal ini tidak boleh berpatokan dengan waktu Negara yang dia sedang berada di atasnya. Berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menjelaskan untuk menahan makan dan minum ketika telah melihat fajar dan tidak berbuka kecuali setelah melihat matahari tenggelam. Akan tetapi apabila dalam cuaca mendung tidak mungkin melihat terbitnya fajar atau tenggelamnya matahari maka hendaklah dia menggunakan persangkaan kuatnya, karena inilah yang mungkin dia lakukan.

B.Sudah berbuka puasa kemudian melihat matahari dari atas pesawat
Barangsiapa yang sudah berbuka puasa di negerinya kemudian ketika naik pesawat melihat matahari, maka boleh baginya meneruskan makan dan minum. Karena dia telah berbuka puasa dengan kewajiban dalil syar’i. Rasululloh bersabda;
إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَا هُنَا ، وَأَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَا هُنَا ، وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ ، فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ
Apabila malam telah datang dari sini, siang hari telah pergi dari sini dan matahari telah tenggelam, sungguh orang yang puasa telah berbuka.
Orang yang semacam ini tidak harus menahan makan dan minum kecuali dengan dasar dalil syar’I, dan dalam hal ini tidak ada.
Adapun bila pesawatnya telah terbang sebelum masuk waktu berbuka puasa, kemudian siang harinya panjang, maka dia tetap wajib menahan dari makan dan minum sampai matahari tenggelam, sekalipun siang harinya panjang beberapa jam berdasarkan hadits yang telah lalu.

5.Hukum jarum suntik/injeksi yang bertujuan untuk pengobatan
Termasuk permasalahan aktual seputar puasa yang hangat jadi bahan pembicaraan adalah hukum jarum suntik/injeksi yang bertujuan sebagai pengobatan. Apakah hal ini membatalkan puasa ataukah tidak? Ketahuilah, jarum suntik/injeksi terbagi menjadi dua macam ;
Pertama: jarum suntik yang tujuannya sebagai pengobatan dan tidak berfungsi sebagai pengganti makanan. Maka hal ini tidak membatalkan puasa, dengan alasan;
1.Lambung adalah tempat berkumpulnya makanan. Apabila tidak sampai ke lambung satu jenis makanan-pun maka orang yang puasa tidak dianggap berbuka/batal puasanya.
2.Asal hukum puasa seseorang itu sah, tidak batal sampai ada dalil yang menyatakan batal puasanya. Dan jarum suntik yang tujuannya sebagai pengobatan bukanlah makanan, atau minuman dan bukan pula yang semakna dengan makan dan minum, maka tidak bisa kita katakan sebagai pembatal puasa.
Kedua: Jarum suntik yang tujuannya sebagai pengobatan dan berfungsi sebagai pengganti makanan. Masalah inilah yang diperselisihkan oleh para ahli fikih dewasa ini, apakah membatalkan puasa ataukah tidak. Yang lebih mendekati kebenaran, bahwa jarum suntik apabila berfungsi sebagai pengganti makanan maka membatalkan puasa. Karena orang yang puasa apabila disuntik dengan jarum semacam ini akan merasa cukup dari makan dan minum. Allohu A’lam.

BID’AH-BID’AH DI BULAN ROMADHAN

Bulan Romadhan adalah bulan yang mulia, namun kemuliaannya terkotori dengan beberapa ritual bid’ah yang banyak dikerjakan oleh kaum muslimin. Diantara bid’ah-bid’ah di bulan Romadhan adalah;

1.Melafadzkan niat puasa
Niat tempatnya adalah di dalam hati, bukan melafadzkannya dengan lisan semisal ucapan yang sering kita dengar Nawaitu Shouma Ghodin Fardhon Lillahi Ta'ala. Bahkan mengucapkan niat dalam ibadah, baik ketika berwudhu, shalat, atau puasa adalah menyelisihi syariat atau kita katakan bid'ah.
Abu Abdillah Muhammad bin Qosim al-Maliki berkata: "Niat termasuk pekerjaan hati, maka mengeraskannya adalah bid'ah".

2.Menetapkan Waktu Imsak
Menetapkan waktu imsak bagi orang yang makan sahur 5 atau 7 menit menjelang adzan shubuh dan mengumumkannya melalui pengeras suara ataupun radio adalah bid’ah dan menyelisihi sunnah. Karena syariat ini memberikan batasan seseorang untuk makan sahur sampai adzan shubuh. Dan imsak melarang manusia dari apa yang diperbolehkan oleh syariat dan memalingkan manusia dari menghidupkan sunnah untuk mengakhirkan sahur.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Termasuk bid’ah yang mungkar yang telah tersebar pada zaman sekarang adalah mengumandangkan adzan kedua sebelum shubuh sekitar 15 menit pada bulan Romadhan, dan mematikan lampu-lampu sebagai tanda peringatan haramnya makan dan minum bagi orang yang hendak puasa. Mereka mengklaim bahwa hal itu sebagai bentuk kehati-hatian dalam ibadah. Mereka mengakhirkan berbuka dan menyegerakan sahur, mereka menyelisihi sunnah. Oleh karenanya sedikit sekali kebaikan yang mereka terima, bahkan mereka malah tertimpa petaka yang banyak, Allohul Musta’an.

3.Membangunkan dengan kentongan atau pengeras suara
Biasanya di sebagian kampung dan desa ada sekelompok anak muda atau juga orang tua menabuh kentongan sekitar 2-3 jam sebelum shubuh untuk membangunkan warganya agar segera sahur. Bahkan ada yang menggunakan mikrofon masjid untuk melakukan panggilan ini. Tidak ragu lagi, ini adalah suatu kebiasaan jelek plus bid’ah.
Syaikh Abdul Qodir al-Jazairi berkata: “Apa yang dilakukan sebagian orang jahil pada zman sekarang di negeri kita berupa membangunkan orang puasa dengan kentongan merupakan kebid’ahan dan kemungkaran yang seharusnya dilarang dan diingatkan oleh orang-orang yang berilmu”.

4.Peringatan Nuzulul Qur’an
Peringatan nuzulul qur’an yang banyak diselenggarakan kaum muslimin pada tanggal 17 Romadhan perlu disorot dari dua segi;
Pertama: Dari segi sejarah, adakah bukti autentik baik berupa dalil ataupun fakta sejarah yang menyebutkan bahwa al-Qur’an diturunkan pada tanggal tersebut?
Kedua: Anggaplah memang terbukti bahwa al-Qur’an diturunkan pada tanggal tersebut, maka untuk menjadikannya sebagai perayaan yang syar’I diperlukan dalil dan contoh dari nabi. Bukankah orang yang paling gembira dengan turunnya al-Qur’an adalah nabi dan para sahabatnya?! namun, sekalipun demikian tidak pernah dinukil dari mereka tentang adanya peringatan semacam ini. Dari sini menunjukkan bahwa peringatan tersebut bukan termasuk ajaran Islam, tetapi merupakan kebid’ahan dalam agama.


5.Komando Di Antara Roka’at Sholat Tarawih
Berdzikir dan mendo’akan para khulafaur rosyidin di antara dua salam sholat tarawih dengan cara berjama’ah, di pimpin oleh satu orang dengan mengucapkan as-sholatu sunnatat tarowih rohimakumulloh.. tidak pernah dinukil dari al-Qur’an dan dalam as-Sunnah tentang dzikir ini. Ritual ini termasuk kebid’ahan dan harus diwaspadai dan ditinggalkan.

6.Bid’ah Sholat Lailatul Qodr
Sebagian manusia ada yang mengerjakan shalat Lailatul Qodr dengan tata cara; shalat dua raka’at dengan berjama’ah setelah shalat taraweh. Kemudian di akhir malam, mereka shalat lagi seratus raka’at. Shalat ini mereka kerjakan pada malam yang menurut persangkaan kuat mereka adalah lailatul qodr. Oleh karena itu shalat ini dinamakan shalat lailatul qodr. Tidak ragu lagi bahwa ini adalah bid’ah yang nyata.

7.Mengkhususkan Ziaroh Kubur
Pada bulan Romadhan dan hari raya sering kita dapati manusia ramai ke kuburan dengan keyakinan bahwa waktu itu adalah waktu yang sangat istimewa untuk ziaroh kubur. Namun adakah dalam Islam ketentuan waktu khusus untuk ziaroh kubur?
Islam tidak mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk melakukan ziaroh kubur. Para ahli fiqih dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanabilah telah menegaskan anjuran memperbanyak ziarah kubur kapanpun waktunya. Para ulama Malikiyyah mengatakan: “Ziarah kubur tidak ada batasan dan waktu khusus”.
Hal ini dikuatkan dengan keumuman dalil-dalil perintah ziarah kubur, tidak ada keterangan bahwa ziarah kubur terbatasi dengan waktu tertentu, karena diantara hikmah ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran, ingat akherat, melembutkan hati, dan hal itu dianjurkan untuk dilaksanakan setiap waktu tanpa terbatasi oleh waktu khusus.
Jadi prinsipnya kita tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk ziaroh kubur, kapanpun hal itu dilakukan hukumnya adalah boleh.

Demikianlah beberapa bid’ah yang masyhur dan dilakukan oleh sebagian kaum muslimin yang dapat kami sampaikan. Kita memohon kepada Alloh agar menyelamatkan kita semua darinya dan memberikan hidayah kepada kaum muslimin yang masih melakukannya. Amiin


HADITS LEMAH DAN PALSU SEPUTAR PUASA

Sesungguhnya hadits-hadits lemah yang tersebar di masyarakat sangat banyak. Bahkan sangat laris dibawakan oleh sebagian juru dakwah. Sungguh ini merupakan musibah besar yang melanda kaum muslimin. Berikut ini sebagian hadits-hadits lemah dan palsu yang banyak beredar pada bulan Romadhan.

1.Berangan-angan Ramadhan sepanjang tahun
لَوْ يَعْلَمُ الْعِبَادُ مَا فِيْ رَمَضَانَ لَتَمَنَّتْ أُمَّتِيْ أَنْ يَكُوْنَ رَمَضَانُ السَّنَةَ كُلُّهَا
Seandainya sekalian hamba mengetahui keutamaan bulan Ramadhan, niscaya mereka berangan-angan agar sepanjang tahun dijadikan bulan Ramadhan seluruhnya.

Palsu. (Lihat Sifat Shoum an-Nabi Fi Romadhan hal.109-110 oleh Syaikh Salim al-Hilali Dan Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid)

2.Awal Ramadhan adalah Rahmat
...وَ هُوَ شَهْرٌ أَوّلُهُ رَحْمَةٌ وَ أَوْسَطُهُ مَغْفِرَةٌ وَ آخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ
Bulan yang awalnya adalah rahmat, pertengahannya berupa ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka…(hadits panjang).

Lemah. (Lihat Ad-Dhoi’fah no.871, juga no.1569 oleh Syaikh al-Albani, Sifat Shoum an-Nabi hal.110)

3.Sehat Dengan Puasa
صُوْمُوْا تَصِحُّوْا
Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.

Lemah Sekali. (Lihat ad-Dhoi’fah no.253, Sifat Shoum an-Nabi hal.111)

4.Do’a Buka Puasa
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ:اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ , وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ فَتَقَبَّلْ مِنِّي إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
Apabila nabi berbuka puasa, beliau berdoa; Allohumma Laka Shumtu wa Ala Rizkika Afthortu, Fa Taqobbal Minni Innaka Antas Sami’ul Alim (Dengan nama Alloh. Ya Alloh, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rizki-Mu aku berbuka. Maka terimalah puasaku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha mengetahui.

Lemah Sekali. (Lihat Irwaaul Ghaliil no.919 oleh al-Albani).

5.Berbuka Tanpa Udzur
مَنْ أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صَوْمُ الدَّهْرِ وَإِنْ صَامَهُ
Barangsiapa yang tidak berpuasa di bulan Ramadhan tanpa ada udzur atau sakit, maka ia tak dapat ditebus dengan puasa setahun sekalipun ia berpuasa.

Lemah. (Lihat Fathul Bari 17/161 oleh Ibnu Hajar, Tuhfatul Ahwadzi 3/341, al-Mubarokafuri).

6.Tidurnya orang yang puasa adalah ibadah
صَمْتُ الصَّائِمِ تَسْبِيْحٌ وَنَوْمُهُ عِبَادَةٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
Diamnya orang yang puasa adalah tasbih, tidurnya adalah ibadah, doanya mustajab dan amalnya dilipatgandakan.

Lemah Sekali. (Lihat ad-Dhoi’fah no.3784 dan no.4696, Ahadits Muntasyiroh Lam Tatsbut hal.366 oleh Ahmad bin Abdillah as-Sulami).

7.Puasa Awal Dan Akhir Tahun
مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ, وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ, فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبَلَةَ بِصَوْمٍ, جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةً خَمْسِيْنَ سَنَةً
Barangsiapa yang puasa akhir hari bulan Dzulhijjah dan Awal Muharrom, maka dia telah menutup tahun lalunya dengan puasa dan membuka tahun barunya dengan puasa, Alloh menjadikan baginya kafaroh lima puluh tahun.

Palsu. (Lihat al-Alaa’I al-Mashnu’ah 2/108 oleh Suyuthi, Tanziih Syari’ah 2/148 oleh Ibnu Arroq, al-Fawaid al-Majmu’ah hal.96 oleh asy-Syaukani).

8.Ramadhan bergantung pada zakat fithri
شَهْرُ رَمَضَانَ مُعَلَّقٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَاْلأَرْضِ وَلاَ يُرْفَعُ إِلىَ اللهِ إِلاَّ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ
Bulan Ramadhan tergantung antara langit dan bumi, dan ia tidak diangkat kepada Alloh kecuali dengan zakat fithri.

Lemah. (Lihat ad-Dhoi’fah no.43).


PENUTUP

Al-Hamdulillah, itulah yang dapat kami ucapkan seiring dengan selesainya penulisan buku ini. Semoga buku ini menjadi panduan praktis yang bermanfaat bagi saudara-saudara kami kaum muslimin dalam menyambut bulan suci Romadhan. Dan jika anda mendapati kebenaran dalam buku ini, maka itu hanyalah dari Alloh semata. Terimalah dengan senang hati tanpa melirik siapa yang mengucapkannya. Perhatikan apa yang diucapkannya, bukan orangnya. Demikian pula jika anda mendapati kesalahan di dalamnya, maka hal itu dari kekurangan penulis dan syaithon, Alloh dan Rasulnya berlepas diri dari hal tersebut. Sungguh apa yang dikerjakan manusia tidak lepas dari kesalahan dan kekurangan, obatnya adalah nasehat dan pelurusan dari saudara kami yang tulus. Karena hanya Alloh-lah Yang Maha Sempurna.
Ya Alloh, jadikanlah kami hamba-hamba yang taat kepadaMu. Jadikanlah usaha kami ini ikhlas hanya semata-mata mencari pahala dan ridhoMu. Ampunilah kami, orang tua kami, para masyayikh kami, isteri kami dan seluruh kaum muslimin. Amiin.
Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada nabi kita Muhammad beserta keluarga, para sahabat dan pengikut setianya hingga akhir zaman. Aamiin. Allohu A’lam.

Unaizah, Saudi Arabia
2-Robi’ Awwal-1431 H

Ditulis oleh seorang hamba yang mengharap ampunan Robbnya
Abu Abdillah Syahrul Fatwa bin Luqman bin Salim

2 komentar:

  1. ana jadikan PDF... insya Allah kalau sudah jadi linknya ana kasih ke antum Akh. jazakallahu khairan...

    BalasHapus
  2. 'afwan nggak jadi akh.. takutnya melanggar hak cipta.. http://pustaka-muslim.com/buku-panduan-lengkap-puasa-ramadhan-menurut-al-quran-dan-sunnah/

    BalasHapus